Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Rabu, 05 Oktober 2011

DINDING ANTARA RADIKALISME DAN ISLAM

DINDING ANTARA RADIKALISME DAN ISLAM

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal,dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.

Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional. Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas, ditambah lagi bomber bunuh diri yang terjadi baru ini dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan label radikalisme Islam.
Radikalisme dalam Etimologis merujuk kepada:
  • Ekstremisme, dalam politik berarti terolong kepada kelompok-kelompok Kiri radikal, Ekstrem kiri atau Ekstrem kanan.
  • Radikalisasi transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal, revolusioner, ekstremis, atau militan. Sementara istilah "Radikal" biasanya dihubungkan dengan gerakan-gerakan ekstrem kiri, "Radikalisasi" tidak membuat perbedaan seperti itu.
Lebih Khusus
  • Radikalisme (historis), sebuah kelompok atau gerakan politik yang kendur dengan tujuan mencapai kemerdekaan atau pembaruan electoral yang mencakup mereka yang berusaha mencapai republikanisme, penghapusan gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan dengan perkembangan liberalisme.
  • Radikal (Britania)
  • Republikan Radikal
  • Partai Radikal – sejumlah organisasi politik yang menyebut dirinya Partai Radikal, atau menggunakan kata Radikal sebagai bagian dari namanya.

Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjdi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pascahancurnya gedung WTC New York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al- Qaeda dan Taliban) semakin menjadikan term radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih menglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat  utama dalam memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik.

Barangkali masyarakat Barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya sendiri dalam mengeksploitasi media yang diciptakannya. Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan mereka tidak mampu memandang fenomena historis umat Islam secara obyektif. Tetapi hal ini tidak berarti pembenaran terhadap praktek radikalisme yang dilakukan umat beragama karena yang demikian bertentangan dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam agama dan moralitas manapun.

Akan tetapi apa yang perlu dilihat adalah bahwa Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian. Hal ini bukan saja ada dalam normatifitas teks wahyu dan sunnah tetapi termanifestasi dalam sejarah Islam awal. Islam secara normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah mengajarkan praktek radikalisme sebagaimana terminologi di Barat. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.

Stigma Radikalisme Islam

Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.

  1. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian.
  2. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
  3. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam. Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memimiliki makna yang interpretable.
  4. Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
  5. Sebutan fundamentalis memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali (revivalis) Islam.
  6. Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga ditujukan untuk menyebut gerakan radikalisme Islam.
  7. Dengan demikian mungkin kita lebih cenderung menggunakan istilah radikalisme dari pada fundamentalisme karena pengertian fundamentalisme dapat memiliki arti-arti lain yang terkadang mengkaburkan makna yang dimaksudkan sedang radikalisme dipandang lebih jelas makna yang ditunjuknya yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai target politik yang ditopang oleh sentimen atau emosi keagamaan. Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militan dan sebagainya. 
  8. Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosiohistoris. Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesarbesarkan,sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan.

Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme

Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :

Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra 11 bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.

Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untukmelepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang in imerupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah
dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.

Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat
mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.

Refleksi

Memberikan solusi bagi permasalahan historis-sosiologis tidaklah mudah, terlebih-lebih jika permasalahan yang ada itu ditopang oleh emosi keagamaan. Namun demikian, dalam melihat fenomena historis-sosiologis mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme ini ada beberapa catatan yang mungkin terjadi solusi alternatif. Gerakan-gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya mencerminkan paduan factor internal dan eksternal. Oleh karenanya perlu dicari akar permasalahan dari dua sisi ini.

Pertama, faktor internal yaitu berupa emosi keagamaan yang berdasarkan interpretasi ajaran agama. Dalam hal ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka jalan yang perlu ditempuh untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama (khususnya Islam) harus mulai dengan rekontruksi terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar simbolik-normatif menuju pemahaman yang etik, substansial dan universal. Namun hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan upaya yang menyeluruh dan kompleks. Mengubah pola pikir dan sikap mental adalah perbuatan yang amat sulit dilakukan terlebih-lebih jika pola pikir sebelumnya sudah ditopang dengan akidah (keyakinan) keagamaan yang kuat dan mengakar.

Kedua, faktor eksternal. Pengembalian hak-hak politik umat Islam yang selama ini di”penjara” oleh Barat, seperti dihentikannya perang media atas Islam yang menjadikan umat Islam terpojok oleh propaganda media Barat, pengembalian wilayah teritori milik komunitas umat Islam yang “dijajah” Barat atau sekutu-sekutunya, dihentikannya penjajahan dan dominasi ekonomi, kultur maupun militer yang dilakukan oleh barat atas negeri-negeri Muslim yang dianggap militan. Pengembalian hak-hak Muslim merupakan syarat utama dalam meminimalisisr gerakan radikalisme. Di samping itu, faktor kebijakan pemerintah negara-negara Muslim juga memiliki peran yang cukup penting dalam memperkecil gerakan radikalisme. Bahwa gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok Muslim merupakan simbol dari ketidakpercayaan terhadap kekuatan dan kemauan para pemegang pemerintahan negerinegeri Muslim, serta sebagai simbol ketidakberdayaan mereka dalam diplomasi internasional (karena sudah terpinggirkan, termajinalkan, terjajah).
Penanganan yang kaku oleh pemerintah terhadap gerakan radikalisme bukan saja tidak menyelesaikan masalah tetapi juga menyebabkan gerakan radikalisme akan terus berlangsung di samping tentunya menimbulkan permasalahan yang dapat memicu radikalisme baru. Ketika penguasa tidak memahami fenomena masyarakatnya, ketika kecurigaan dan kekerasan dijadikan alat untuk memberantas radikalisme maka radiklaisme tidak akan hilang dari fenomena historis. Radikalisme tidak dapat dilawan dengan kekerasan. Radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok Muslim memiliki ide (ideologi politik dan ideologi keagamaan), di samping ditopang oleh emosi dan solidaritas keagamaan yang sangat kuat. Karenany maka diperlukan upaya persuasif, kedemawaan dan rasa persaudaraan dari para penguasa negeri-negeri Muslim agar gerakan yang lebih radikal lagi bisa dicegah.

Akhir Kata

Praktek kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam tidak dapat dialamatkan kepada Islam sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam secara umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku kekerasan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi label dan mengkampanyekan anti-radikalisme Islam.

Identitas keislaman (kesadaran umum sebagai Muslim) memang menjadi identitas yang tepat dan referensi yang efektif bagi gerakan radikalisme. Tetapi faktor eksternal yaitu dominasi dan kesewenang-wenangan barat atas negeri-negeri Muslim merupakan faktor yang lebih dominan yang memunculkan radikalisme Muslim sebagai reaksi. Jadi jelas, bahwa radikalisme muncul dari kebanggan (identitas ke-Islaman) yanga terluka (oleh Barat), keluhan (kaum Muslim tertindas yang tidak diperhatikan) dan keputusasaan karena ketidakberdayaan.

Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin Barat dan juga negeri-negeri Muslim untuk mampu membaca fenomena perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan Muslim. Kondisi buruk sosial-politik dan ekonomi telah menjadikan umat Islam semakin termajinalkan sudah seharusnya dijadikan landasan awal dalam pemecahan masalah radikalisme. Jika tidak maka “Islam” yang damai akan termanifestasi dalam bentuk radikalisme yang penuh kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar