Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Rabu, 28 Desember 2016

KONSEP GOOD GOVERNANCE, SOUND GOVERNANCE DAN DYNAMIC GOVERNANCE



“KONSEP GOOD GOVERNANCE, SOUND GOVERNANCE DAN DYNAMIC GOVERNANCE

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos


PENDAHULUAN

Kekuatan sentral di balik perubahan ini dan transformasinya adalah globalisasi kapital, tepatnya proses yang mempengaruhi negara-bangsa, ekonomi, pasar, institusi, dan budaya. Proses globalisasi ini dipercepat oleh sejumlah faktor atau daya, seperti inovasi teknologi; penurunan ekonomi domestik dari negara-negara industri kuat di Utara; tekanan militer dan politik dari bangsa di negara dunia ketiga; hancurnya USSR sebagai kekuatan sistem dunia alternatif; peran propaganda ideologi Barat; peran agensi United Nations seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO); bertambahnya harapan rakyat, termasuk kebutuhan pekerja dalam berbagi kekuasaan dalam demokrasi manajemen dan organisasi; dan ketersediaan tenaga kerja murah antar gender dan kelompok nasional di seluruh dunia.
Dengan cepatnya proses globalisasi, muncullah gerakan grassroot dunia dalam kontra-globalisasi. Ini adalah sebuah gerakan global yang dimaksudkan untuk mengurangi fallout globalisasi seperti degradasi lingkungan, penjarahan ekonomi, kemiskinan, pekerja paksa, pekerja anak, dan budak upahan. Transformasi pemerintah dan administrasi ini seperti menentang proses, struktur dan nilai dari governance dan administrasi publik. Dari situ, kebutuhan akan pembentukan kapasitas, peningkatan dan inovasi dalam kebijakan dan manajemen terkesan lebih urgen daripada sebelumnya jika pemerintah ingin menghadapi dan menindaklanjuti tantangan globalisasi. Apa yang dibutuhkan adalah aplikasi sebuah konsep baru “governance yang jelas”.
Pendahuluan ini menggambarkan persoalan sentral “governance yang jelas” di jaman peningkatan kompleksitas global, tantangan, ancaman dan peluang yang mempengaruhi negara-bangsa, pemerintah lokal, rakyat, organisasi dan sistem administratif. Elemen penting yang ada di sini adalah dua fitur penting inovasi kebijakan dan administratif yang diperiksa lewat analisis beragam dimensi dan jalur governance yang jelas, seperti organisasi; struktur antar- dan dalam-organisasi; aspek manajerial, politik dan ekonomi; kebijakan; dan ekologi global. Diskusi pendahuluan ringkas ini dibingkai dalam empat topik yaitu (1) konsep governance dengan beragam prinsip, dan fokus ke governance yang jelas; (2) dimensi, persoalan pokok, dan karakteristik governance yang jelas; (3) inovasi kebijakan dan administratif bagi governance yang jelas; dan (4) rencana dan deskripsi buku.

Keragaman dan Kerumitan Konsep
Sejumlah konsep yang beragam muncul selama dua dekade terakhir yang merefleksikan perspektif konseptual dan ideologi tentang governance dan administrasi. Konsep ini, yang beragam seperti yang dibayangkan, memberikan sedikitnya dua set peluang atau batasan dan tantangan.
Peluang ini ditunjukkan oleh kreativitas dan inovasi dalam konseptualisasi seputar prinsip governance dan administrasi; ini memberikan kadar pengetahuan baru tentang subyek penyidikan. Ini adalah wacana sehat yang bisa menghasilkan solusi yang lebih baik kepada masalah kebijakan publik dan organisasi; dan menawarkan ide revitalisasi dan peningkatan sistem pemerintah dan administrasi. Peluang juga terbentuk seiring beragamnya governance dan administrasi lewat cara eksperimentasi dan praktek yang memverifikasi atau mengabaikan ide baru yang dianggap tinggi. Secara keseluruhan, uji coba ini mendukung proses pembelajaran baru, yaitu metode pembelajaran historis yang menjadi alat efektif dalam peningkatan inkremental governance dan administrasi.
Di lain pihak, keragaman konsep juga menghasilkan tantangan dan kendali baru yang menambahkan dimensi baru dalam teori dan praktek administrasi dan pemerintah. Pertama, kerumitan muncul dalam beragam perspektif, khususnya ketika tidak ada konsensus atau kesepakatan seputar governance dan administrasi. Kedua, penggunaan konsep spesifik atau prinsip governance oleh banyak pemerintah dan organisasi bisa menimbulkan prominensi dan dominansi dalam teori dan praktek, tapi ini tidak membuktikan superioritasnya atas model alternatif yang dikesampingkan atau yang diabaikan. Contoh masalah ini adalah penggunaan new public management dan privatisasi menyeluruh sebagai syarat dari program penyesuaian struktural yang dijalankan di negara dunia ketiga oleh lembaga-lembaga United Nations seperti IMF, WB, dan WTO, yang menjadi instrumen institusional pokok dari negara global dan korporasi kekuasaan Barat.
Selanjutnya, batasan dan tantangan bisa muncul ketika pencarian menjadi tiada henti dan ditanggung sendiri, dengan hasil berupa akibat berbeda yang bisa merugikan pihak yang terpengaruh oleh eksperimen. Reformasi hanya untuk mereformasi malah dikatakan tidak berperasaan, mahal dan sia-sia. Meski begitu, kegagalan dan tantangan negatif bisa menjadi sumber pembelajaran untuk peningkatan lebih lanjut.
GOOD GOVERNANCE
Konsep “good governance” yang dikemukakan oleh lembaga United Nations seperti WB, IMF, UNDP, dan UNDESD, atau pemerintah dan korporasi Barat, menjadi salahsatu kebutuhan paling mendesak di negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin/Sentral sebagai kondisi untuk bantuan internasional. Sebagai bagian dari struktural adjustment program (SAP), agensi United Nations, menurut instruksi dan tekanan institusi donor di Utara (pemerintah dan korporasi Barat), menuntut supaya negara berkembang mau menggunakan prinsip “good governance” dengan mengimplementasikan sejumlah reformasi struktural dan kebijakan dalam pemerintah dan masyarakatnya sebagai kondisi dari bantuan internasional. Seminar, workshop dan konferensi dilakukan di seluruh dunia yang menekankan konsep dan menghendaki perlunya hasil pembangunan berkelanjutan (UNDP, 1997a, 1997b).
Meski begitu, konsep “good governance” menuai kritik serius atau bahkan pujian yang mendunia. Contoh, bekas presiden Tanzania, Julius K. Nyerere, saat berpidato di UN Conference on Governance in Africa di tahun 1998, mengkritik prinsip “good governance” sebagai sebuah konsep yang imperialistik dan koloni. Dia melihatnya sebagai sebuah konsep yang dipaksakan pada negara berkembang dan kurang maju di Afrika oleh kekuasaan Barat industri dan korporasi global transnasional. Menurutnya, korporasi dan pemerintah donor ini, atau organisasi wakil UN, menganggap bahwa governance di Afrika sudah “sedemikian buruk” sehingga memutuskan harus mereformasinya supaya “baik” dengan menyusutkan ukuran administrasi negara dan masyarakat, memperluas sektor bisnis privat lewat privatisasi, dan membuat jaln menuju korporasi kapitalis global untuk mencari profit tinggi dan menghasilkan perpaduan ke dalam sistem pasar global (UNDESA, 1998).
Pendeknya, prinsip “good governance” dipromosikan lewat agensi internasional atau konsultan korporat dan pemerintah yang tujuannya adalah mereformasi pemerintah dan ekonomi di negara berkembang guna mengundang elit korporat global. Prinsip good governance, meski begitu, terdengar bagus dan begitu juga tampilannya, tapi ini masih memberikan orientasi normatif, mendukung elit bisnis dan politik yang kuat, dan mengedepankan kepentingan elit korporat dalam skala nasional dan global. Konsep ini dikatakan defisien karena masih tidak jelas dan membawa nilai normatif yang terlalu tinggi sehingga cenderung meningkatkan kepentingan politik dan ekonomi dari elit dominan, imperialistik dan global, sekaligus menyurutkan tradisi pemerintah di negara berkembang. Apa yang didefinisikan baik oleh orang kaya sepertinya tidak begitu baik untuk masyarakat miskin dan kelas bawah di bangsa yang kurang maju, dan tidak ada alasan bagi kelompok ini untuk mempercayai prinsip baru yang disebut “good governance”.
Pengertian Good Governance  
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
  1. Partisipasi Masyarakat (Participation)
            Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
  1. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
 Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
  1. Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
  1. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
  1. Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
  1. Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi
  1. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi  masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
  1. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
  1. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Penerapan Good Governance di Indonesia
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini, penerapan Good Governance diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.

Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptaka iklim Good Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Diterapkannya Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
SOUND GOVERNANCE
Konsep “sound governance” digunakan sebagai alternatif dari istilah good governance karena beberapa alasan. Pertama, ini lebih komprehensif daripada konsep lain yang ditinjau sebelumnya, dan berisi elemen governance global atau internasional yang penting. Kedua, ini juga berisi fitur normatif atau teknis dan rasional dari good governance. Meski begitu, ini menghasilkan pandangan seimbang seputar governance yang kurang condong, dan mempertimbangkan fitur murni dari sistem governance pribumi yang mungkin berkonflik dengan struktur kekuatan neo-kolonialis dominan. Dengan kata lain, sebuah pemerintah atau governance bisa dikatakan sound (jelas) meski sistemnya berkonflik dengan kepentingan imperialis dan kebijakan intervensinya. Ketiga, konsep sound governance memiliki karakteristik kualitas governance yang lebih unggul daripada good governance, dan dianggap jelas secara teknis, profesional, organisasional, manajerial, politik, demokratik dan ekonomi. Ini juga dikatakan jelas dalam kapasitas dan perilaku antisipasinya; ini dikatakan demokratik dalam karakter, respon dan kompetensinya; dan nilai budayanya ditanamkan dalam nilai dan struktur masyarakat. Keempat, sound governance bercocokkan dengan nilai konstitusi dan responsif kepada norma, aturan dan rejim internasional. Good governance yang didefinisikan sebagai proponennya sering mengabaikan fitur konstitusional penting yang membatasi negara-bangsa dan pemerintah berdaulat.
Kelima, konsep sound governance berawal dari kerajaan negara-dunia pertama Persia yang memiliki sistem administrasi efektif dan efisien (Cameron, 1968; Cook, 1985; Farazmand, 1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). Menurut Darius the Great, ataupun Cyrus pengganti the Great, “tidak ada kerajaan yang bertahan tanpa adanya ekonomi dan sistem pemerintahan dan administrasi yang jelas”. Kerajaan Persia perlu menguatkan sistem pemerintahan dan administrasinya dengan kebijakan ekonomi, manajerial dan organisasi yang jelas, yang bukan hanya efisien dalam menangani urusan kerajaan yang wilayahnya luas, tapi juga efektif dalam kontrol politis dan respon antisipasi kepada krisis dan darurat yang tidak diharapkan. Manajemen strategis dan struktur governance kontingensinya telah tertata baik untuk mengurusi dan menangani kerajaan negara-dunia yang begitu besar sampai mencakup keseluruhan dunia kuno.
Meski konsep kuno sound government bukanlah yang terdengar demokratik dibanding standar kontemporer, penggunaannya lewat reformasi struktural di bidang keuangan, manajemen, komunikasi, hukum dan pemerintah lokal yang didasarkan pada prinsip “toleransi” adalah sebuah ide baru. Saat ini, konsep sound governance telah mengalahkan konsep governance lain. Sebelum memahami dimensi dan elemen atau  karakteristiknya, sebuah definisi perlu diberikan ke konsep tersebut.
Istilah governance menunjukkan prinsip pemerintah dan administrasi yang jauh lebih komprehensif daripada istilah government dan governing. Governance berarti proses partisipasi dalam penanganan urusan sosial, ekonomi dan politik dari sebuah komunitas negara atau lokal lewat struktur dan nilai yang mencerminkan masyarakat. Ini bisa memandang negara sebagai institusi pendukung, kerangka konstitusional, masyarakat sipil, sektor privat, dan struktur institusional internasional/global dalam batasannya. Di sini, governance digunakan sebagai sebuah konsep yang lebih luas daripada bentuk pemerintah yang tradisional, unilateral dan otoriter yang mana elit governing-nya hanya duduk dalam posisi komando unilateral.
Governance karena itu dikatakan inklusif, dan mengundang partisipasi dan interaksi dalam lingkungan nasional dan internasional yang kompleks, beragam dan dinamis. Konsep “soundness” digunakan untuk menggambarkan governance dengan kualitas unggul dalam fungsi, struktur, proses, nilai, dimensi, dan elemen yang dibutuhkan dalam governing dan administrasi. Governing merupakan fungsi governance oleh apapun aktor atau otoritas atau institusi, termasuk yang non-pemerintah, sedangkan governance berisi proses, struktur, nilai, manajemen, kebijakan, dan administrasi. Konsep sound governance digunakan di sini untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi/finansial, politik, demokratik, konstitusional, organisasi, administratif, manajerial, dan etika, tapi juga jelas secara internasional/global dalam interaksinya dengan negara-bangsa lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri. Sound governance merefleksikan fungsi governing dan administratif dengan kinerja organisasi dan manajerial yang jelas yang bukan hanya kompeten dalam perawatan, tapi juga antisipatif, responsif, akuntabel dan transparan, dan korektif; dan berorientasi strategis dan jangka panjang meski operasinya dalam jangka pendek. Dimensi Sound Governance Sound governance berisi beberapa komponen atau dimensi. Sebagai elemen vibrant dari sebuah sistem dinamis, elemen komponen ini berinteraksi secara dinamis satu sama lain, dan semuanya membentuk kesatuan yang mempertimbangkan keragaman, kompleksitas dan intensitas internal, dan menindaklanjuti tantangan, batasan, dan peluang eksternal. Fitur dinamis internal dan eksternal bisa berinteraksi secara konstan, yang membuat sistem governance dinamis difokuskan pada arah dan aksi menurut tujuannya.
Keragaman ini memberikan peluang bagi sistem governance untuk menerima feedback dari kekuatan dialektik lawan yang menjadi mekanisme check and balance. Keragaman juga menyuntikkan darah baru ke dalam sistem, dan menghasilkan inovasi dan kreativitas. Kompleksitas terbentuk sebagai hasil keragaman dinamis dan melibatkan sejumlah kekuatan eksternal dan peripheral yang menantang pelaksanaan sistem governance. Kompleksitas, karena itu, adalah sebuah produk bertambahnya interaksi antar kekuatan dialektik yang tetap mengisi bidang sistem governance dengan sejumlah aktivitas. Proses ini menghasilkan beragam intensitas dalam sistem governance, dalam operasi internasionalnya, dan dalam respon dinamisnya ke tekanan, peluang dan batasan lingkungan eksternal – secara lokal, nasional, regional dan global. Semakin eksternal peluang dan elemen pendukungnya, semakin lancar pelaksanaan sistemnya secara internal.
Sebaliknya, semakin banyak tekanan, tantangan dan batasan yang lebih eksternal (misal, sangsi, propaganda, kekerasan, konflik perbatasan, perang dan tekanan finansial/ekonomi internasional), maka semakin sulit pelaksanaan sistem governance internal. Meski begitu, ini juga memberikan sebuah peluang baru bagi sistem governance di tengah perselisihan; meningkatnya intensitas interaksi dinamis internal antar kekuatan oposan dialektik dalam sebuah medan energi, atau tepatnya sebuah proses yang meningkatkan level pembentukan kapasitas, inovasi, kreativitas, dan respon adaptif. Ini adalah sebuah karakteristik sehat dari proses dan struktur dinamis dalam sistem sound governance, karena sistem tersebut didorong untuk menghasilkan kemandirian lewat kreativitas dan inovasinya dalam kebijakan dan administrasi di berbagai bidang, dan didorong untuk melakukan lompatan ke arah pembentukan kapasitas dan peningkatan administrasi dan self-governance. Kualitas governance-lah yang membuat sistem menjadi jelas dan dinamis.
Sound governance memiliki banyak dimensi. Ini meliputi (1) proses, (2) struktur, (3) kognisi dan nilai, (4) konstitusi, (5) organisasi dan institusi, (6) manajemen dan kinerja, (7) kebijakan, (8) sektor, (9) kekuatan internasional atau globalisasi, dan (10) etika, akuntabilitas dan transparansi. Setiap dimensi ini bekerjasama dengan lainnya seperti orkestra, dengan leadership yang jelas dan partisipasi dinamis elemen atau komponen interaktif, sehingga memberikan kualitas sistem governance di luar harapan.

DYNAMIC GOVERNANCE

Institusi pemerintahan berpengaruh terhadap persaingan ekonomi dan pembangunan sosial pada sebuah negara. Kedua hal tersebut ditentukan oleh interaksi antara pemerintah dan rakyatnya dalam memfasilitasi atau menghambat pertumbuhan dan pembangunan. Hambatan  ini dikarenakan fungsi monopoli pemerintah yang tidak terbiasa dengan kompetisi pasar untuk memproduksi barang dan jasa. Dinamisme mempertahankan perkembangan sosial dan ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dengan perubahan yang sangat cepat. Dinamisme harus didukung dengan sophisticated society yang berisikan orang-orang terdidik dan lebih terekspos terhadap globalisasi.
Sejak tahun 2005, ide dynamic governance ini telah menarik perhatian. Mereka menganggap serius hal ini sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan, dianalisa. Neo dan Chen mendiskusikan dan mengkonseptualisasikan tiga kemampuan suatu pemerintahan. Pertama, think ahead—kemampuan menganalisa kondisi di masa depan yang penuh dengan ketidakpastian dari lingkungan eksternal dengan melihat peluang-peluang baru dan potensi ancaman yang ada. Kemampuan ini membuat sebuah institusi dapat memprediksikan perkembangan di masa depan. Hal ini akan berdampak pada pencapaian tujuan dari institusi pemerintah untuk mengatur negaranya. Kedua, think again—kemampuan mengevaluasi dan mengidentifikasi perubahan kebijakan yang telah ditetapkan agar memperoleh hasil dan kualitas yang lebih baik. Sehingga intitusi dapat mengemukakan permasalahan dan isu yang dihadapi, dan melihat bagaimana cara untuk meningkatkan performa institusi tersebut. Hal ini membutuhkan efesiensi dan efektifitas kebijakan yang telah dibuat dan juga ketepatan dalam penjapaian tujuan dan penetapan strategi. Ketiga, think across—kemampuan melintasi batas-batas tradisional untuk ‘berpikir diluar batas’, juga untuk ‘belajar dari orang lain’ apabila terdapat ide-ide bagus yang dapat diadopsi dan diadaptasi sebagai inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Itu seperti meng-copy aturan dan kegiatan/praktek yang telah berhasil diterapkan di suatu tempat. Hal ini mengizinkan transfer pengetahuan antar negara dengan mengadopsi program dari suatu negara dan disematkan kedalam institusi lokal dan lingkungan kebijakan. Selain itu, kita harus mengerti ‘bagaimana menerapkannya, bagaimana itu bekerja dengan baik atau mengapa itu tidak bekerja dengan baik’ dan bagaimana kita menerapkannya dengan sudut pandang yang berbeda dari ide dasarnya.
Adaptasi kebijakan bukanlah semata-mata reaksi pasif terhadap tekanan dari eksternal tetapi merupakan sebuah pendekatan proaktif terhadap inovasi, kontekstualisasi, dan eksekusi. Inovasi kebijakan berarti ide baru dan segar yang diinjeksi ke dalam suatu kebijakan sehingga dapat dicapai hasil yang berbeda dan lebih baik. Ide-ide ini dikonversi menjadi suatu kebijakan sehingga masyarakat akan menghargai dan mendukung kebijakan tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak hanya tentang ide dan desain kontekstual tetapi juga eksekusi kebijakan yang membuat dynamic governance menjadi nyata.
Implementasi Dynamic Governance
Oleh karena esensi dasar dari dynamic governance adalah perlunya melakukan perubahan untuk mengantisipasi perubahan yang cepat dan kadang tidak terantisipasi, maka konsep dynamic governance dapat diterapkan pada organisasi publik maupun privat.Pada penyelenggaraan pemerintahan daerah misalnya, kegiatan thinking ahead dilakukan dengan menganalisis dan memproyeksi apa yang akan dihadapi dalam 10, 15 atau 20 tahun ke depan berdasarkan arah kecenderungan perubahan  (nasional, regional, dan global), konstalasi politik, dan sosio-ekonomi masyarakat. Sederetan asumsi dan proyeksi serta  pertanyaan dapat diajukan sebagai langkah awal melakukan analisis seperti: proyeksi laju pertumbuhan penduduk, derajat kesehatan masyarakat, tingkat konsumsi / daya beli dan pendidikan masyarakat, ketersediaan lapangan kerja, pertumbuhan angkatan kerja, kebutuhan ketersediaan infrastruktur pertanian (lahan perkebunan, persawahan, perkebunan, dan jaringan infrastruktur pendukung lainnya) bagi daerah yang memiliki potensi agraris, kebutuhan ketersediaan infrastruktur ekonomi (perbankan, lembaga keuangan, pasar modern/tradisional), infrastruktur sosial, pendidikan, dan kesehatan (jalan, tempat ibadah, tempat rekreasi, gedung sekolah, rumah sakit, pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan lain-lain), proyeksi peluang pasar bagi hasil pertanian dan industri, proyeksi kebutuhan tingkat kualitas dan jenis keterampilan serta jumlah aparat pemerintah yang dibutuhkan pada masing-masing satuan kerja pemerintah daerah, kreteria pimpinan pimpinan daerah masa depan, dan lain-lain.
Dalam thinking again dapat dipertanyakan: apakah kebijakan, strategi, dan program pembangunan sedang berjalan sudah tepat? Sudah memenuhi tuntutan kebutuhan  pasar (masyarakat)? Apakah pembangunan berjalan telah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meningkatkan daya beli masyarakat, mengurangi penduduk miskin, meningkatkan pola pikir dan tingkat pendidikan masyarakat? Apakah anggaran tersedia lebih banyak digunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja, pengembangan usaha rakyat, penyediaan infrastruktur? Apakah kuantitas dan kualitas aparatur pemerintah daerah telah tersedia memadai, dan bekerja optimal sesuai bidangnya? Apakah satuan kerja perangkat daerah telah melaksanakan tugas pokok fungsi masing-masing secara optimal? Apakah kepemimpinan pemerintahan daerah dapat mengorganisir secara baik dan memberikan dukungan moral dan material secara memadai pada segenap aparat pemerintah yang dipimpinnya? Apakah pimpinan daerah dapat bekerja secara adil, dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi atau kelompok politiknya? Apakah penempatan pejabat pada jabatan tertentu telah sesuai aturan yang ada? Apakah ada jaminan karier bagi pejabat/pegawai berprestasi? dan lain-lain. Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kesiapan kemampuan daerah untuk melaksanakan tugas masa kini dan masa datang.
Thinking across dapat dilakukan dengan belajar dari pengalaman negara lain atau institusi sejenis baik  di dalam negeri maupun luar negeri. Mendatangkan orang yang dianggap ahli pada bidang tertentu yang dibutuhkan atau mengirimkan pejabat/pegawai pada institusi tertentu ke daerah atau negara lain agar memperoleh pengetahuan baru sesuai bidang masing-masing. Tujuannya adalah menambah kemampuan, baik konseptual, managerial, teknis, maupun kemampuan sosial. Banyak daerah yang memiliki karakteristik budaya, geografi, dan sumber daya yang relatif sama dan berhasil dalam pembangunan dapat dijadikan pelajaran untuk membangun daerah lain. Tukar menukar pengalaman dan informasi untuk kebaikan bersama antar organisasi pemerintah daerah diyakini akan bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan daerah saat ini dan masa akan datang.
Faktor Pendukung
Penerapan konsep dynamic governance pada pemerintahan daerah tergantung banyak hal. Akselerasi perubahan juga dipengaruhi oleh banyak variabel, beberapa kondisi/faktor yang perlu diperhatikan bagi penerapan dynamic governance di daerah antara lain:
1. Komitmen
Komitmen disini diartikan sebagai  kesungguhan dari pemerintahan  daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD) dan pimpinan instansi/dinas , badan/lembaga daerah untuk melakukan perubahan yang konsisten dan berkelanjutan bagi kemajuan daerah. Komitmen dari para petinggi daerah tersebut merupakan hal fundamental mengingat posisi dan kewenangan mereka sebagai pembuat dan sekaligus pelaksana kebijakan. Sebagai pembuat kebijakan mereka menentukan arah pembangunan yang ingin dicapai melalui segenap peraturan daerah dan keputusan pendukung lainnya, dan sebagai eksekutor mereka pulalah yang melaksanakan sekaligus mengawasi berjalan tidaknya kebijakan yang mereka buat. Kewenangan daerah yang begitu besar seperti diamanatkan Undang-undang dapat merugikan dan bahkan menyengsarakan rakyat daerah bersangkutan jika dijalankan tanpa komitmen tinggi.
2. Pengisian jabatan
Pengisian jabatan tersedia harus benar-benar didasarkan pada syarat-syarat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan kemampuan  prestasi pegawai (merit system) bukan atas dasar lain. Penyimpangan  secara sengaja atau pengabaian terhadap ketentuan berlaku akan merusak karier pegawai dan dan pada gilirannya dapat merugikan masyarakat. Hal ini penting diperhatikan, karena yang dapat melakukan proses thinking ahead, thingking again, dan thinking across adalah para pejabat yang memiliki kewenangan formal maupun akademik. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk untuk menduduki jabatan tertentu atas dasar selera dan kedekatan hubungan  dengan yang menunjuk dan mengangkat tanpa memperhatikan kemampuan dan syarat administratif lainnya, diyakini tidak akan dapat melakukan perubahan yang signifikan.
3.  Pragmatisme
Dalam banyak kasus hanya sedikit orang yang konsisten dengan idealismenya, meskipun pada awal banyak orang memiliki idealisme namun pada pertengahan jalan larut dengan kepentingan jangka pendek mengejar keuntungan pribadi, suku, dan golongan. Pragmatisme terkait juga dengan budaya ingin serba seketika (instan) yang telah terbentuk sebagai sebuah mindset dengan mengabaikan proses. Peningkatan jenjang pendidikan yang niat awalnya sebagi upaya peningkatan kualitas diri, namun dalam praktek dilakukan sekedar untuk mendapat ijazah setingkat lebih tinggi tanpa tambahan pengetahuan yang memadai, adalah contoh kecil pragmatisme. Ketidakmampuan unsur pimpinan pemerintahan daerah untuk menjaga integritas, kejujuran dan menegakkan keadilan dalam berbagai hal akan mendorong tumbuhnya primordialisme yang dapat menjadi lahan bagi berkembangnya pragmatis dan pada gilirannya akan merugikan organisasi dan masyarakat.
4.  Kemampuan Sumber Daya
Secara garis besar sumber daya menyangkut dua hal yaitu sumber daya yang tampak / tangible ( sumber daya alam, sarana/prasarana, sumber daya manusia) dan sumber daya tidak tampak / intangible (konsep, fikiran, moral, budaya, kepemimpinan, peraturan, dan lain-lain). Khusus sumber daya manusia tidak saja menyangkut sumber daya aparatur pemerintahan daerah tetapi juga keseluruhan warga masyarakat daerah. Tingkat pendidikan, moral dan budaya masyarakat akan menentukan tingkat akseptabilitas terhadap suatu perubahan yang pada gilirannya berimbas pada pola fikir, gaya kepemimpinan, dan kemampuan sumber daya aparatur pemerintahan daerah, karena aparatur pemerintahan daerah merupakan bagian dari warga masyarakat daerah.
Dynamic Governance merupakan suatu konsep untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu pemerintahan / organisasi agar tetap  hidup (survive) menghadapi perubahan global yang cepat dan tidak menentu. Organisasi pemerintah / organisasi lainnya tidak boleh statis, keberhasilan kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan atau masa lampau tidak menjamin kesuksesan masa depan. Oleh karena itu diperlukan semangat/ dinamika untuk selalu menyesuaikan kebijakan, strategi, dan program dengan perkembangan masa depan melalui thinking ahead, thinking again, dan thinking across.



Sumber :
Boon Siong Neo, Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance, Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd
Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan    Publik.                              Gadjah             Mada University Press. 2005
Efendy, Sofyan. 2005. “Membangun Good Governance”. Diakses melalui situs  http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf, tanggal 28 juli 2013.
Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance, Policy and Administrative Innovation. Westport : Praeger.
Kaufmann Daniel, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi (2004). Governance Matters III; Governance Indicators for 1996, 1998, 2000 and 2002,” World Bank Economic Review. Vol 18.
Muhammad,  Fadel. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta : Elekmedia Komputindo.