Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Senin, 30 Januari 2012

Teori Elit Politik


Teori Elit Politik

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Teori Elit Politik
Mulanya "teori elit politik", lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun 1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C. Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol). Pareto (1848-1928)" percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang, terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
Awal Munculnya Teori (Elit Politik)
Konsep pergantian (sirkulasi) elit juga dikembangkan oleh Pareto. "Sejarah", katanya, "merupakan suatu pekuburan aristokrasi". Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tak dapat. ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan, suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior pada kelompok-kelompok (yang lain). Ini menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Dan akibatnya, keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu. Kiranya inilah yang menjadi perhatian utama Pareto. Pada bagian lain ia juga mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian: (1) di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri, dan (2) di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada, dan/atau (b) individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kearah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit. Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep "residu"nya. Konsep tersebut didasarkan pada perbedaan yang digambarkannya terjadi di antara tindakan yang "logis" dan "non-Iogis" (lebih daripada "rasional" dan "non-rasional") dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksudkan dengan tindakan yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan­tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Yang dimaksudkan dengan tindakan non-Iogis adalah tindakan-tindakan yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut. Yang dimaksudkan dengan "residu" sebenarnya adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar "residu" dia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu "Kombinasi" dan residu "Keuletan bersama" dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya.
Residu "kombinasi" dapat diartikan sebagai kelicikan dan residu "keuletan bersama" berarti kekerasan, menurut pengertian yang sederhana. Pareto juga telah menggambarkan ke dua elit tersebut sebagai para "spekulator" dan para "rentenir". Perilaku mereka menunjukkan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam membentuk klik•klik pemerintah sebagai "rubah" dan "singa". Terdapat dua tipe elit, yaitu mereka yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa. Di dalam usahanya untuk mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan mereka, elit-elit ini melakukan "penyerapan" ("derivation") atau menggunakan mitos-mitos yang mereka ciptakan untuk mengelabui Massa. guna memperalatnya. Dengan kata lain "penyerapan" adalah cara-cara di mana tindakan-tindakan yang ditentukan oleh residu dirumuskan guna memahami munculnya tindakan-tlndakan yang logis. Ketertarikannya dalam masalah ini, seperti halnya ketika dia membahas keseimbangan sosial, menambah keyakinan Pareto akan penting­nya sirkulasi elit dari waktu ke waktu. "Revolusi", tulisnya, merupakan akibat adanya akumulasi dalam masyarakat kelas atas - baik karena seretnya sirkulasi dalam kelas maupun sebab lain yang menyangkut unsur-unsur yang merosot dan tidak lagi memiliki residu yang memadai guna menjaga kekuasaan mereka, atau berkurangnya penggunaan kekerasan sementara pada waktu yang bersamaan dalam elemen-elemen masyarakat. strata bawah yang menyangkut kualitas superior mulai maju dan berkemauan untuk menggunakan kekerasan. Jelaslah bahwa Pareto telah menegaskan pentingnya kapasitas serta kemauan pada elit yang berkuasa untuk menggunakan kekerasan.
Di samping Pareto yang mengembangkan teorinya atas daaar keahliannya sebagai sosiolog dan psikolog, Gaetano Mosca (1858­1941)9, yang lebih jauh mengembangkan teori elit politik seperti halnya konsep m.engenai pergantian elit, pada dasarnya adalah seorang ilmuwan politik. la menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi yang telah dipakai sejak zaman Aristoteles, dia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Dalam semua masyarakat, dari yang paling giat mengembangkan dirl serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat -- selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang memerintah dan kelas yang diperin­tah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama, dalam masalah yang saat ini kurang lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. "Semakin besar suatu masyarakat politik" tambahnya, "semakin kecil proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan Makin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut".
Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan teori pergantian elit. Karakteristik yang membedakan elit adalah "kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik", sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang­orang di luar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Mosca tidak saja mengajukan alasan psikologis sebagai­mana yang dikedepankan Pareto, tetapi juga alasan-alasan sosio­logis. Dia menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elit. Mosca tidaklah setajam Pareto dalam membahas masalah idealisme dan humanisme serta pandangannya terhadap masalah penggunaan kekuatan boleh dikatakan sederhana.
Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan cara yang terorganisasi, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dari individu-indiviuu yang superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosia! yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran "kekuatan sosial" tertentu. Ekspresi yang digunakannya bagi elit bukan pemerintahnya Pareto, dalam mengimbangi dan membatasi pengamh "kekuatan sosial lainnya", Mosca memperkenalkan konsep "sub-elit" yang pada prakteknya berisikan seluruh kelas menengah baik dari para pegawai sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa serta menganggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. "Stabilitas organisme politik apa pun", tulisnya, "tergantung pada tingkat moralitas, kepandaian dan aktivitas yang diusahakan oleh lapisan ke dua ini.
Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "formula politik". Formula politik ini sama dengan "penyerapan"nya Pareto. Dia percaya bahwa dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menemukan basis moral dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan serta mewakilinya sebagai "konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima. Formula politik mungkin tidak dapat, dan biasanya memang tidak, membentuk kebenaran absolut. Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang dapat diterima oleh masyarakat. Mosca belum siap menerima kenyataan bahwa tak ada sesuatu pun selain perwakilan yang sederhana dan jelas yang dengan cerdik diatur oleh kelas penguasa untuk menipu massa ke dalam keragu-raguan. Kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, meskipun dirumuskan sesuai kepentingannya sendiri, dikemukakan dalam bentuk yang sebaliknya dengan maksud memberikan kepuasan moral dan hukum yang terkemas di dalamnya. Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang hams diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisiko Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga, lembaga politik,rakyat dan peradaban. Oleh karenanya Mosca memahaminya sebagai suatu instrumen kohesi moral.
2. Konsep Massa
Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.
a. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskol\p dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).
b. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri:
1) Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.
2) Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya.
3) Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar.
c. Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience.
Untuk lebih menekankan pentingnya teori elit politik, Ortega Y. Gasset (1833-1955) mengembangkan teorinya tentang massa. Menurut Ortega, kebesaran suatu bangsa tergantung pada kemampuan "rakyat", "masyarakat umum", "kerumunan", "massa" untuk menemukan "simbol dalam orang pilihan tertentu, kepada siapa mereka mencurahkan segala antusiasme vital mereka yang sangat luas". "Orang terpilih" adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang membimbing "massa", yang tidak terpilih seperti mereka. "Satu orang adalah efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan", tulis Ortega, "tidak terlalu banyak jumlahnya karena kualitas individunya serta juga karena energi­energi sosial yang telah dipasrahkan oleh massa padanya. "Suatu bangsa merupakan suatu massa manusia yang terorganisasi, yang disusun oleh suatu minoritas individu yang terpilih. Bentuk hukum yang akan dipergunakan suatu negara dapat berupa hukum yang demokratis atau yang komunis, tetapi kehidupan dan konstitusi ekstra-Iegal-nya akan senantiasa mengandung pengaruh dinamis dari suatu minoritas yang bertindak di atas massa. Hal ini merupakan hukum alam, dan sepenting biologi pada badan sosial seperti hukum kepadatan dalam ilmu fisika. "Kenyataan sosial yang utama", tulisnya lebih jauh, "adalah organisasi yang mengarahkan dan memadu manusia. Ini menunjukkan ada kemampuan untuk memimpin; dan ada kemampuan untuk dipimpin". Massa bergolak ketika aristokrasi menjadi korup dan tidak efisien, dan dorongan yang ada di belakang revolusi tersebut bukanlah keberatan mereka untuk diperintah oleh aristokrasi tetapi keinginan untuk diperintah oleh aristokrasi yang lebih berkompeten. "Sekali tak ada minoritas yang bertindak terhadapsuatu massa kolektif, dan massa tahu bagaimana caranya masuk ke dalam suatu minoritas, maka tidak akan ada masyarakat, atau yang mendekati hal itu". Ketika massa dalam suatu negara percaya bahwa mereka dapat berjalan tanpa aristokrasi, maka keruntuhan bangsa tak terhindarkan. Dalam kebingungannya, massa kembali akan berpaling pada kepemimpinan yang baru, yang mungkin akan memunculkan aristokrasi baru pula. "Sejarah menunjukkan pasang surut yang abadi di antara dua jenis permulaan-periode di mana aristokrasi dan masyarakat sedang dibentuk, dan periode-periode dalam mana aristokrasi yang sama tersebut merosot dan masyarakat lebur bersama mereka.


Pendekatan – pendekatan dalam Ilmu Politik


Pendekatan – pendekatan dalam Ilmu Politik

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Pendekatan dalam ilmu politik mencakup standard atau tolok ukur yang dipakai untuk memilih masalah dan menentukan data mana yang akan diteliti serta data mana yang akan dikesampingkan. Menurut Vemon van Dyke “ Pendekatan (approach) adalah criteria untuk menyelesaikan masalah dan data yang relevan.”
Pengamatan terhadap kegiatan politik itu sendiri dilakukan dengna berbagai cara, tergantung dari pendekatan yang dipergunakan, karenanya kita mengenal beberapa pendekatan dalam Ilmu Politik, antara lain.

I. Pendekatan Tradisional (Tradisional Approach)
Negara menjadi focus utama dengan menonjolkan segi konstitusional dan yuridis. Bahasan pendekatan ini menyangkut, misalnya : Sifat Undang-Undang Dasar serta kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan lembaga-lembaga kenegaraan formal, badan yudikatif, badan eksekutif,dsb. Karenanya pendekatan ini disebut juga pendekatan institusional atau legal-institusional.

Contoh Pendekatan Tradisional:
Dengan pendekatan ini, dalam mempelajari parlemen, maka yang diperhatikan adalah kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah (UUD,UU, atau Peraturan Tata Tertib); hubungan formal dengan badan eksekutif; struktur oranisasi serta hasilnya.

Beberapa kelemahan pendekatan tradisional, antara lain:
1. Pendekatan ini tidak meneliti apakah lembaga kenegaraan memang terbentuk dan berfungsi seperti yang diuraikan dalam naskah-naskah resmi kenegaraan.
2. cenderung kurang menyoroti organisasi-organisasi yang tidak formal, seperti kelompok kepentingan dan media massa.
3. Bahasan lebih deskriptif daripada analitis.
4. Lebih banyak menggunakan ulasan sejarah, seperti menelusuri perkembangan parlemen.
5. Lebih bersifat normative karena fakta dan norma kurang dibedakan, bahkan seringkali saling berkaitan.
6. Kurang memberikan sumbangan terhadap pembentukan teori baru.

II. Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Approach)
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi peneliti untuk mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala yang benar-benar dapat diamati.

Contoh Pendekatan Perilaku:
Dalam mempelajari parlemen, maka yang dibahas adalah perilaku anggota perlemen, yaitu: bagaimana pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan UU, giat atau tidaknya memprakarsai UU, kegiatan lobbying, dsb.

Ciri-Ciri Pendekatan Tingkah Laku:
1. Pendekatan ini cenderung bersifat interdisipliner, maksudnya tidak saja mempelajari dampak faktor pribadi tetapi juga dampak dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
2. Merupakan suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok (David Easton dan Albert Somit), antara lain:
a. Perilaku politik menampilakan keteraturan (regularities).
b. Generalisasi-generalisasi ini pada dasarnya harus dapat dibuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification).
c. Teknik-teknik penelitian yang cermat harus digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data.
d. Pengukuran dan kuantifikasi (antara lain melalui statistik dan matematika ) harus digunakan untuk mencapai kecermatan dalam penelitian.
e. Harus ada usaha untuk membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standard yang harus menjadi pedoman untuk tingkah laku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan atau pengalaman).
f. Penelitian harus bersifat sistematis dan berkaitan dengan pembinaan teori.
g. Ilmu politiik harus bersifat murni (pure science) dalam arti bahwa usaha untuk memahami dan menjelaskan perilaku politik harus mendahului usaha untuk menerapkan pengetahuan itu bagi penyelesaian masalah-masalah social.
h. Dalam penelitian politik diperlukan sikap terbuka serta integrasi dengan konsep-konsep dan teori-teori ilmu lainnya.
3. Pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagian saling berinteraksi serta saling bergantungan dan semua bagian bekerjasama untuk menunjang terselengaranya sistem tersebut.
4. Sumbangan pendekatan perilaku pada usaha untuk memajukan Ilmu Perbandingan Politik

Perbedaan Pendekatan Tradisional dengan Pendekatan Perilaku
Kritik terhadap Pendekatan Perilaku:
1. Pendekatan perilaku telah membawa efek yang kurang menguntungkan, yakni mendorongpara ahli menekuni masalah-masalah yang kurang penting seperti pemilihan umum (voting studies) dan riset berdasarkan survey.(1960-an)
2. Penganut pendekatan perilaku kurang memberi perhatian pada masyarakat perubahan (change) dalam masyarakat.
3. Pendekatan perilaku terlalu steril, karena menolak untuk memasukkan nilai-nilai dan norma dalam penelitian.(Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowel)
4. Pendekatan perilaku juga tidak memiliki relevansi dengan realitas politik dan buta terhadap masalah-masalah sosial.

III. Pendekatan Pascaperilaku (Post Behavioral Approach)
Gerakan pascaperilaku memperjuangkan perlunya relevance and action (relevansi dan orientasi bertindak). Reaksi ini ditujukan kepada usaha mengubah penelitian dan pendidikan Ilmu Politik menjadi suatu ilmu pengetahuan murni sesuai dengan pola ilmu eksakta. Pada hakikatnya pendekatan ini merupakan “kesinambungan” sekaligus “koreksi” dari pendekatan perilaku.


Pokok-pokok pendekatan Pascaperilaku yang diuraikan oleh David Easton, antara lain:
1. Dalam usaha mengadakan penelitian yang empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan terhadap masalah sosial yang dihadapi. Relevansi ini dianggap penting daripada penelitian yang cermat.
2. Karena penelitian ini dianggap terlalu abstrak, Ilmu Politik kehilangan kontak dengan realitas sosial.
3. Penelitian mengenai nilai-nilai harus merupakan tugas Ilmu Politik.
4. Para cendekiawan memiliki tugas yang historis dan unik untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
5. Cendekiawan harus action oriented
6. Cendekiawan tidak boleh menghindari perjuangan dan harus turt mempolitisi organisasi-organisasi profesi dan lembaga-lembaga ilmiah.

Pengembangan Komunitas (Community Development)


Pengembangan Komunitas (Community Development)

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Menurut Hayden (1979: 175) Community Development adalah suatu proses yang merupakan usaha masyarakat sendiri yang diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam kehidupan nasional dan mendorong kontribusi komunitas yang lebih optimakl bagi kemajuan nasional.
Sebagai perbandingan Chirstenson dan robinson (1989:14) mendefenisikan Community Development sebagai suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakana sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk mengubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan lingkungan mereka.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
Dari sejarah perubahan dalam mengkonseptualisasikan pembangunan, terdapat berbagai variasi cara mendefinisikan pembangunan. Mula-mula pembangunan hanya diartikan dalam arti ekonomi, namun berkembang pemikiran, bahwa pembangunan tidak hanya diartikan dalam arti ekonomi, tetapi pembangunan dilihat sebagai suatu konsep yang dinamis dan bersifat multidimensional atau mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti; ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya.
Berbagai istilah yang sering digunakan saling bergantian dalam menjelaskan pengertian pembangunan, seperti; perubahan, pertumbuhan, kemajuan, dan modernisasi. Akan tetapi istilah-istilah tersebut tidak sama makna dari arti pembangunan, karena pembangunan merupakan rujukan semua yang baik, positif, dan menyenangkan. Sementara perubahan, pertumbuhan, kemajuan, maupun modernisasi dapat saja terjadi tanpa unsur pembangunan.
Dilihat dari arti hakiki pembangunan, pada dasarnya menekankan pada aspek nilai-nilai kemanusiaan, seperti; menunjang kelangsungan hidup atau kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, harga diri atau adanya perasaan yang layak menghormati diri sendiri dan tidak menjadi alat orang lain, kebebasan atau kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan. Selain itu, arti pembangunan yang paling dalam adalah kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya, yang mencakup; kapasitas, keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang, dan saling ketergantungan.
Pengertian pembangunan sebagai suatu proses, akan terkait dengan mekanisme sistem atau kinerja suatu sistem. Menurut Easton (dalam Miriam Budiardjo, 1985), proses sistemik paling tidak terdiri atas tiga unsur: Pertama, adanya input, yaitu bahan masukan konversi; Kedua, adanya proses konversi, yaitu wahana untuk ”mengolah” bahan masukan; Ketiga, adanya output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang dilaksanakan. Proses sistemik dari suatu sistem akan saling terkait dengan subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan internasional.
Proses pembangunan sebagai proses sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung pada bahan masukan (input), kualitas dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukan pembangunan, salah satunya adalah sumber daya manusia, yang dalam bentuk konkritnya adalah manusia. Manusia dalam proses pembangunan mengandung beberapa pengertian, yaitu manusia sebagai pelaksana pembangunan, manusia sebagai perencana pembangunan, dan manusia sebagai sasaran dari proses pembangunan (as object).

Secara ilmu, pembangunan ekonomi, politik dapat diklasifikasi secara sosiologis ke dalam tiga kategori. Pertama, masyarakat yang masih bersifat tradisional; kedua adalah masyarakat yang bersifat peralihan; dan ke tiga adalah masyarakat maju. Ke tiga kategori tersebut saling berkaitan, karena berada dalam satu negara. Semua negara di dunia masih mempunyai tiga kategori tersebut, meskipun dalam negara modern sekalipun. Hanya dalam negara maju lebih mempunyai kondisi sosial yang stabil, bila dibandingkan dengan kategori dari yang pertama dan ke dua.
Teori pembangunan masyarakat mencakup tiga pembahasan utama, yakni teori pembangunan masyarakat sebagai proses; teori pembangunan masyarakat sebagai cara (metode); dan teori yang berkaitan dengan peranan program di dalam pembangunan masyarakat. Teori pembangunan masyarakat sebagai proses, berlandaskan pada pendekatan sistem dalam pengelolaan pembangunan. Sistem adalah suatu kesatuan utuh yang terdiri dari berbagai bagian, di mana bagian tersebut saling berinteraksi satu sama lain.
Bagian-bagian yang ada dalam teori pembangunan masyarakat sebagai proses, yakni input (masukan), proses konversi, dan output (luaran). Input yang berasal dari lingkungan (lingkungan fisik dan sosial), selanjutnya dikonversi untuk dijadikan sebagai output proses pembangunan. Ada satu tahap yang sangat penting pula dalam pendekatan ini, yakni proses umpan balik (feed back) dari output menjadi input kembali.
Teori pembangunan masyarakat sebagai metode, yang diuraikan di sini adalah teori tentang partisipasi masyarakat. Teori menghendaki bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tidak hanya bersifat keikutsertaan secara fisik dalam kegiatan pembangunan, tetapi yang lebih penting bagaimana melibatkan masyarakat secara mental yang disertai motivasi dalam program pembangunan. Ini sebabnya dalam kegiatan belajar ini, diutarakan beberapa metode yang terbukti telah efektif dalam memobilisasi peranserta masyarakat dalam berbagai pembangunan masyarakat. Keberadaan suatu program pembangunan masyarakat di suatu komunitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara umum. Pada bagian terakhir kegiatan belajar ini, diuraikan tentang substansi program dan tahap-tahap dalam penyelenggaraan pembangunan masyarakat.

Teori Sumber daya manusia memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyak penduduk  bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif  dan kewirausahaan. Teori sumber daya manusia  diklasifikasikan  kedalam teori yang menggunakan pendekatan yang fundamental.
Community development juga bisa didefinisikan  sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak  keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan  bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.
Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan pembangunan  (bottoming up approach)  merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.
Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan masyarakat adalah yang pertama, melaksanakan perintah agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan. Kedua, adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada dasarnya  manusia itu bersaudara. Sehingga pengembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya.
Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:
  1. Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
  2. Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan.
  3. Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
  4. Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
  5. Pendekatan politik.
  6. Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian  dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
  7. Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat