Akulturasi Pelayanan
Publik menuju Budaya Lokal Birokrasi yang Dinamis
Oleh : Igusti
Firmansyah, S.Sos
Tanpa terasa sudah berjalan 6 tahun lamanya sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik
selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakatnya walaupun
sampai saat ini Pelayanan Publik masih berjalan dengan carut marutnya. Di
Indonesia,upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya selalu dilaksanakan oleh
pemerintah. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap
peningkatan mutu pelayanan, maka pemerintah mengeluarkan pedoman tentang
perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat.
Namun,hingga kini masyarakat masih menganggap bahwa kualitas pelayanan publik
masih teramat rendah,terutama di daerah-daerah.
Jika dilihat dari keluhan masyarakat tentang birokrasi pelayanan
publik pemerintahan,kenyataan tersebut telah lama ada sejak pemerintahan itu
sendiri ada,dan jika dilihat dari kurun waktu dalam upaya memperbaiki kinerja
birokrasi, kenyataan tersebut usianya juga sudah sangat tua. Berbagai masalah
masih muncul, walaupun Reformasi Birokrasi selalu di gaung gaungkan dengan
lantang di Indonesia. Meskipun demikian, masalah birokrasi pelayanan public
yang berbelit belit sampai dengan dewasa ini, masih saja tetap hangat dipersoalkan
oleh banyak pihak.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern
menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Masyarakat yang dinamis
berkembang dalam berbagai bidang kegiatan, yang semakin membutuhkan
tenaga-tenaga profesional. Seiring dengan berbagai kemajuan yang diraih oleh
masyarakat, kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut
kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada ditengah-tengah
masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu
memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Birokrasi
modern tidak lagi berpikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam
anggaran yang terbatas dengan se-efisien mungkin, dan manfaat apa yang akan
diperoleh dari hasil pembelanjaan tersebut (cost and benefit). Pendekatan ini
akan merubah pola pembiayaan secara lebih efisien serta memungkinkan untuk
mengukur produktivitas kerja birokrasi.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam terjadi karena adanya
varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal lebih
merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik
tertentu, bahkan sampai pada tingkat subetnik. Adanya variasi dan
keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat
kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam
organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya
yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya yang tidak
dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat
secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan
sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu
daerah tertentu.
Pada kenyataannya budaya lokal birokrasi yang berkembang di daerah
Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang
melingkupinya. Lingkungan sosial masyarakat minangkabau memiliki sistem norma,
sistem nilai, sistem kepercayan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang
telah dipahami oleh para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan
benar. Sistem norma dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku bagi warga masyarakatnya di Sumatera Barat. Oleh
karena itu, budaya masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua hal yang
selalu mewarnai kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda.
Birokrasi dan sistem yang dikembangkan di dalam secara alamiah akan menjalin
interaksi dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut
beroperasi. Birokrasi bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang
hampa, melainkan selalu dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara
birokrasi dengan kultur masyarakat local.
Budaya Lokal Birokrasi versus
Pelayanan Publik
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya lokal
birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan
publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi? Jika yang
pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi
birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan
pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya birokrasi merupakan
kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan
mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P.Siagian,1995).
Oleh karena itu budaya birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif
perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian
dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh
para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya birokrasi adalah
membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri
para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi
dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas
organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai
hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya local birokrasi terhadap
perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi local birokrasi mampu
menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan birokrasi lain; mampu membentuk
identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu
mempermudah terciptanya komitmenorganisasi daripada komitmen yang bersifat
kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial;
dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali
perilaku para anggota organisasi. Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja
birokrasi, keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan
kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah
berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh
organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik.
Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah
mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi
pelayanan publik adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa
sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit
lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya
infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas
pelayanan publik.
Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa
kegagalan dari pada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat birokrasi
tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya
masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat
individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.
Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat
hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya
masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya
kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis
dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan
pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti
budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Pertanyaannya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa
ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana? Ini harus dipahami !
( Para ahli cenderung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah
memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik
yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A. Almond
(1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau
disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga
kerja birokrasi yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat
dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan
dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu
menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan
terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim
pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini
berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat
sebagai basis utamanya.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya pelayanan publik dalam
lingkup budaya lokal birokrasi, antara lain :
- Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah.
- Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi public.
- Budaya patrimonial, dimana budaya birokrasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan
kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan
adanya langkah-langkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya
sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua: Membentuk asosiasi/perserikatan
kerja dalam pelayanan publik; Ketiga:
Meningkatkan keterlibatan masyarakat, baik dalam perumusan kebijakan pelayanan
publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan
pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat:
Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan
publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian); Kelima: Menyadari adanya pengaruh kuat
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang
efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam:
Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja
bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh:
Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and
salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya faktor
keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh: Adanya saling pengertian dan
pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan
publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.
Perubahan dalam birokrasi apapun bentuknya jika tidak
dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif
(dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena
itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang
dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan
kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati
sedini mungkin secara cermat dan bijaksana sebelum melakukan tindakan nyata.
Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak
diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur,
fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya
bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan
dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang
dimaksud dengan reformasi birokrasi akan bersifat retorika belaka dan tidak
autonomous (murni).
Dapat
disimpulkan bahwa keterkaitan nilai-nilai budaya lokal birokrasi dengan
perilaku birokrasi yang membentuk budaya birokrasi yang pada akhirnya turut
memberi andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik. Pemahaman aparat
birokrasi terhadap nilai-nilai budaya lokal masih rendah, sehingga berdampak ke
dalam perilaku sehari-hari di dalam memberikan pelayanan publik. Kenyataan yang
terjadi adalah nilainilai budaya lokal dikatakan sebagai penghambat
penyelenggaraan pelayanan publik. Namun ketika tradisi pelayanan publik dapat mempengaruhi dan
menciptakan budaya birokrasi yang modern maka akan tercipta suatu birokrasi
yang dinamis dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Karena budaya birokrasi
harus berorientasi pada kepuasan masyarakat yang majemuk dan mengubah pola
pikir aparat untuk kembali kepada fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Semoga amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Negara
berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang di atur secara jelas
dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayan Publik akan terwujud
dan tercapai melalui Budaya lokal birokrasi yang ber bhineka tunggal ika di
Indonesia.