Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Kamis, 17 Desember 2015

Akulturasi Pelayanan Publik menuju Budaya Lokal Birokrasi yang Dinamis



Akulturasi Pelayanan Publik menuju Budaya Lokal Birokrasi yang Dinamis


Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos


Tanpa terasa sudah berjalan 6 tahun lamanya sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakatnya walaupun sampai saat ini Pelayanan Publik masih berjalan dengan carut marutnya. Di Indonesia,upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya selalu dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka pemerintah mengeluarkan pedoman tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Namun,hingga kini masyarakat masih menganggap bahwa kualitas pelayanan publik masih teramat rendah,terutama di daerah-daerah.
Jika dilihat dari keluhan masyarakat tentang birokrasi pelayanan publik pemerintahan,kenyataan tersebut telah lama ada sejak pemerintahan itu sendiri ada,dan jika dilihat dari kurun waktu dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi, kenyataan tersebut usianya juga sudah sangat tua. Berbagai masalah masih muncul, walaupun Reformasi Birokrasi selalu di gaung gaungkan dengan lantang di Indonesia. Meskipun demikian, masalah birokrasi pelayanan public yang berbelit belit sampai dengan dewasa ini, masih saja tetap hangat dipersoalkan oleh banyak pihak.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Masyarakat yang dinamis berkembang dalam berbagai bidang kegiatan, yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Seiring dengan berbagai kemajuan yang diraih oleh masyarakat, kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada ditengah-tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Birokrasi modern tidak lagi berpikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran yang terbatas dengan se-efisien mungkin, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari hasil pembelanjaan tersebut (cost and benefit). Pendekatan ini akan merubah pola pembiayaan secara lebih efisien serta memungkinkan untuk mengukur produktivitas kerja birokrasi.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal lebih merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik tertentu, bahkan sampai pada tingkat subetnik. Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya yang  tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi yang  berkembang di suatu daerah tertentu.
Pada kenyataannya budaya lokal birokrasi yang berkembang di daerah Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang melingkupinya. Lingkungan sosial masyarakat minangkabau memiliki sistem norma, sistem nilai, sistem kepercayan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang telah dipahami oleh para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sistem norma dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi warga masyarakatnya di Sumatera Barat. Oleh karena itu, budaya masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua  hal yang selalu mewarnai kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda. Birokrasi dan sistem yang dikembangkan di dalam secara alamiah akan menjalin interaksi dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut beroperasi. Birokrasi bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang hampa, melainkan selalu dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara birokrasi dengan kultur masyarakat local.

Budaya Lokal Birokrasi versus Pelayanan Publik
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya lokal birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi? Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya birokrasi merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya birokrasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya local birokrasi terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi local birokrasi mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan birokrasi lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmenorganisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi. Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja birokrasi, keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik.
Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.
Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan dari pada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Pertanyaannya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana? Ini harus dipahami ! ( Para ahli cenderung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A. Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja birokrasi yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya pelayanan publik dalam lingkup budaya lokal birokrasi, antara lain :
  1. Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah.
  2. Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi public.
  3. Budaya patrimonial, dimana budaya birokrasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkah-langkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua: Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat, baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat: Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian); Kelima: Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam: Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh: Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.
Perubahan dalam birokrasi apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).
Dapat disimpulkan bahwa keterkaitan nilai-nilai budaya lokal birokrasi dengan perilaku birokrasi yang membentuk budaya birokrasi yang pada akhirnya turut memberi andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik. Pemahaman aparat birokrasi terhadap nilai-nilai budaya lokal masih rendah, sehingga berdampak ke dalam perilaku sehari-hari di dalam memberikan pelayanan publik. Kenyataan yang terjadi adalah nilainilai budaya lokal dikatakan sebagai penghambat penyelenggaraan pelayanan publik. Namun ketika tradisi pelayanan publik dapat mempengaruhi dan menciptakan budaya birokrasi yang modern maka akan tercipta suatu birokrasi yang dinamis dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Karena budaya birokrasi harus berorientasi pada kepuasan masyarakat yang majemuk dan mengubah pola pikir aparat untuk kembali kepada fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Semoga amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang di atur secara jelas dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayan Publik akan terwujud dan tercapai melalui Budaya lokal birokrasi yang ber bhineka tunggal ika di Indonesia.