Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Senin, 30 Januari 2012

Teori Elit Politik


Teori Elit Politik

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Teori Elit Politik
Mulanya "teori elit politik", lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun 1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C. Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol). Pareto (1848-1928)" percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang, terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
Awal Munculnya Teori (Elit Politik)
Konsep pergantian (sirkulasi) elit juga dikembangkan oleh Pareto. "Sejarah", katanya, "merupakan suatu pekuburan aristokrasi". Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tak dapat. ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan, suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior pada kelompok-kelompok (yang lain). Ini menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Dan akibatnya, keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu. Kiranya inilah yang menjadi perhatian utama Pareto. Pada bagian lain ia juga mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian: (1) di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri, dan (2) di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada, dan/atau (b) individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kearah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit. Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep "residu"nya. Konsep tersebut didasarkan pada perbedaan yang digambarkannya terjadi di antara tindakan yang "logis" dan "non-Iogis" (lebih daripada "rasional" dan "non-rasional") dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksudkan dengan tindakan yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan­tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Yang dimaksudkan dengan tindakan non-Iogis adalah tindakan-tindakan yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut. Yang dimaksudkan dengan "residu" sebenarnya adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar "residu" dia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu "Kombinasi" dan residu "Keuletan bersama" dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya.
Residu "kombinasi" dapat diartikan sebagai kelicikan dan residu "keuletan bersama" berarti kekerasan, menurut pengertian yang sederhana. Pareto juga telah menggambarkan ke dua elit tersebut sebagai para "spekulator" dan para "rentenir". Perilaku mereka menunjukkan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam membentuk klik•klik pemerintah sebagai "rubah" dan "singa". Terdapat dua tipe elit, yaitu mereka yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa. Di dalam usahanya untuk mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan mereka, elit-elit ini melakukan "penyerapan" ("derivation") atau menggunakan mitos-mitos yang mereka ciptakan untuk mengelabui Massa. guna memperalatnya. Dengan kata lain "penyerapan" adalah cara-cara di mana tindakan-tindakan yang ditentukan oleh residu dirumuskan guna memahami munculnya tindakan-tlndakan yang logis. Ketertarikannya dalam masalah ini, seperti halnya ketika dia membahas keseimbangan sosial, menambah keyakinan Pareto akan penting­nya sirkulasi elit dari waktu ke waktu. "Revolusi", tulisnya, merupakan akibat adanya akumulasi dalam masyarakat kelas atas - baik karena seretnya sirkulasi dalam kelas maupun sebab lain yang menyangkut unsur-unsur yang merosot dan tidak lagi memiliki residu yang memadai guna menjaga kekuasaan mereka, atau berkurangnya penggunaan kekerasan sementara pada waktu yang bersamaan dalam elemen-elemen masyarakat. strata bawah yang menyangkut kualitas superior mulai maju dan berkemauan untuk menggunakan kekerasan. Jelaslah bahwa Pareto telah menegaskan pentingnya kapasitas serta kemauan pada elit yang berkuasa untuk menggunakan kekerasan.
Di samping Pareto yang mengembangkan teorinya atas daaar keahliannya sebagai sosiolog dan psikolog, Gaetano Mosca (1858­1941)9, yang lebih jauh mengembangkan teori elit politik seperti halnya konsep m.engenai pergantian elit, pada dasarnya adalah seorang ilmuwan politik. la menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi yang telah dipakai sejak zaman Aristoteles, dia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Dalam semua masyarakat, dari yang paling giat mengembangkan dirl serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat -- selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang memerintah dan kelas yang diperin­tah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama, dalam masalah yang saat ini kurang lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. "Semakin besar suatu masyarakat politik" tambahnya, "semakin kecil proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan Makin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut".
Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan teori pergantian elit. Karakteristik yang membedakan elit adalah "kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik", sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang­orang di luar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Mosca tidak saja mengajukan alasan psikologis sebagai­mana yang dikedepankan Pareto, tetapi juga alasan-alasan sosio­logis. Dia menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elit. Mosca tidaklah setajam Pareto dalam membahas masalah idealisme dan humanisme serta pandangannya terhadap masalah penggunaan kekuatan boleh dikatakan sederhana.
Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan cara yang terorganisasi, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dari individu-indiviuu yang superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosia! yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran "kekuatan sosial" tertentu. Ekspresi yang digunakannya bagi elit bukan pemerintahnya Pareto, dalam mengimbangi dan membatasi pengamh "kekuatan sosial lainnya", Mosca memperkenalkan konsep "sub-elit" yang pada prakteknya berisikan seluruh kelas menengah baik dari para pegawai sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa serta menganggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. "Stabilitas organisme politik apa pun", tulisnya, "tergantung pada tingkat moralitas, kepandaian dan aktivitas yang diusahakan oleh lapisan ke dua ini.
Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "formula politik". Formula politik ini sama dengan "penyerapan"nya Pareto. Dia percaya bahwa dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menemukan basis moral dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan serta mewakilinya sebagai "konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima. Formula politik mungkin tidak dapat, dan biasanya memang tidak, membentuk kebenaran absolut. Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang dapat diterima oleh masyarakat. Mosca belum siap menerima kenyataan bahwa tak ada sesuatu pun selain perwakilan yang sederhana dan jelas yang dengan cerdik diatur oleh kelas penguasa untuk menipu massa ke dalam keragu-raguan. Kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, meskipun dirumuskan sesuai kepentingannya sendiri, dikemukakan dalam bentuk yang sebaliknya dengan maksud memberikan kepuasan moral dan hukum yang terkemas di dalamnya. Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang hams diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisiko Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga, lembaga politik,rakyat dan peradaban. Oleh karenanya Mosca memahaminya sebagai suatu instrumen kohesi moral.
2. Konsep Massa
Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.
a. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskol\p dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).
b. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri:
1) Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.
2) Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya.
3) Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar.
c. Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience.
Untuk lebih menekankan pentingnya teori elit politik, Ortega Y. Gasset (1833-1955) mengembangkan teorinya tentang massa. Menurut Ortega, kebesaran suatu bangsa tergantung pada kemampuan "rakyat", "masyarakat umum", "kerumunan", "massa" untuk menemukan "simbol dalam orang pilihan tertentu, kepada siapa mereka mencurahkan segala antusiasme vital mereka yang sangat luas". "Orang terpilih" adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang membimbing "massa", yang tidak terpilih seperti mereka. "Satu orang adalah efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan", tulis Ortega, "tidak terlalu banyak jumlahnya karena kualitas individunya serta juga karena energi­energi sosial yang telah dipasrahkan oleh massa padanya. "Suatu bangsa merupakan suatu massa manusia yang terorganisasi, yang disusun oleh suatu minoritas individu yang terpilih. Bentuk hukum yang akan dipergunakan suatu negara dapat berupa hukum yang demokratis atau yang komunis, tetapi kehidupan dan konstitusi ekstra-Iegal-nya akan senantiasa mengandung pengaruh dinamis dari suatu minoritas yang bertindak di atas massa. Hal ini merupakan hukum alam, dan sepenting biologi pada badan sosial seperti hukum kepadatan dalam ilmu fisika. "Kenyataan sosial yang utama", tulisnya lebih jauh, "adalah organisasi yang mengarahkan dan memadu manusia. Ini menunjukkan ada kemampuan untuk memimpin; dan ada kemampuan untuk dipimpin". Massa bergolak ketika aristokrasi menjadi korup dan tidak efisien, dan dorongan yang ada di belakang revolusi tersebut bukanlah keberatan mereka untuk diperintah oleh aristokrasi tetapi keinginan untuk diperintah oleh aristokrasi yang lebih berkompeten. "Sekali tak ada minoritas yang bertindak terhadapsuatu massa kolektif, dan massa tahu bagaimana caranya masuk ke dalam suatu minoritas, maka tidak akan ada masyarakat, atau yang mendekati hal itu". Ketika massa dalam suatu negara percaya bahwa mereka dapat berjalan tanpa aristokrasi, maka keruntuhan bangsa tak terhindarkan. Dalam kebingungannya, massa kembali akan berpaling pada kepemimpinan yang baru, yang mungkin akan memunculkan aristokrasi baru pula. "Sejarah menunjukkan pasang surut yang abadi di antara dua jenis permulaan-periode di mana aristokrasi dan masyarakat sedang dibentuk, dan periode-periode dalam mana aristokrasi yang sama tersebut merosot dan masyarakat lebur bersama mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar