BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam
pembangunan bersama-sama dengan masalah pengangguran dan kesenjangan yang
ketiganya saling kait mengkait. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, masalah
kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda Indonesia
pada pertengahan tahun 1997 lalu. Kemiskinan menjadi semakin sering dibicarakan
karena adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang cukup tajam yang
diakibatkan oleh krisis ekonomi tersebut. Kemiskinana di Indonesia sekarang ini
telah menjadi suatu maslah nasional yang behkan pemerintahpun tengah
mengupayakan usaha pengentasan penduduk Indonesia dari masalah kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah yang mempunyai keterikatan terhadap maslah-masalah social di Indonesia. Sebagai contoh nya keluarga yang miskin mempunyai tingkat penghidupan dan kesehatan yang relative minim dibandingkan orang yang kehidupannya tercukupi,
Kemiskinan adalah masalah yang mempunyai keterikatan terhadap maslah-masalah social di Indonesia. Sebagai contoh nya keluarga yang miskin mempunyai tingkat penghidupan dan kesehatan yang relative minim dibandingkan orang yang kehidupannya tercukupi,
Sejak tahun 2002, sebuah tim yang
terdiri dari para analis Indonesia
dan manca negara, dibawah naungan Program Analisa Kemiskinan di Indonesia
(INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta, telah mempelajari karakteristik
kemiskinan di Indonesia. Mereka telah
berusaha untuk mengidentifikasikan apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya pengentasan
kemiskinan, dan untuk memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk
Pemerintah dan lembaga- lembaga non-pemerintah dalam upaya mereka untuk
memperbaiki standar dan kualitas kehidupan masyarakat miskin
Makalah ini mencoba untuk
menganalisa sifat multi-dimensi dari kemiskinan di Indonesia pada saat ini
melalui pandangan baru yang didasarkan pada perubahan-perubahan penting yang
terjadi di negeri ini selama satu dekade terakhir. Sebelum ini, Bank Dunia
telah menyusun Kajian-Kajian Kemiskinan, yaitu pada tahun 1993 dan 2001, namun
kajian-kajian tersebut tidak membahas masalah kemiskinan secara mendalam.
Kajian ini memaparkan kekayaaan pengetahuan yang dimiliki oleh Bank Dunia dan
Pemerintah Indonesia dan penulis berharap bahwa kajian ini akan menjadi
sumbangan penting untuk menghangatkan diskusi kebijakan yang ada dan, pada
akhirnya akan membawa perubahan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan
upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia yang sekarang tentu
saja sangat berbeda dari Indonesia satu dekade yang lalu. Maka bukan hal yang
mengejutkan apabila strategi-strategi pengentasan kemiskinan telah berubah
seiring dengan perubahan yang telah dialami oleh Indonesia oleh karena itu
dibuatlah makalah yang berjudul “Masalah dan Strategi Pengentasan Kemiskinan
di Indonesia” dan penulis sangat berharap bahwa kajian kemiskinan ini
dapat menjadi sumbangan berarti dalam menghadapi berbagai tantangan.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang:
- Apa pengertian kemiskinan?
- Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
- Apa saja penyebab kemiskinan?
- Bagaimana keadaan kemiskinan di Indonesia?
- Apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan?
2.2 Tujuan Pembahasan
Tujuan
makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
pengertian kemiskinan
2.
Mengetahui
cara mengukur kemiskinan
3.
Mengetahui
penyebab kemiskinan
4.
Mengetahui
keadaan kemiskinan di Indonesia
5.
Mengetahui
apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal
yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air
minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang
juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu
mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai
warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan
untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup:
· Gambaran kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
· Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda
melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan Kepala
Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap miskin
apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk
mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan
kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan
transportasi. "Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non
makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang
per bulan," kata Rusman Heriawan kepada BBC. Dengan definisi itu, jumlah
penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 mencapai sekitar 35.000.000 jiwa.
Angka itu merupakan hasil
survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah
tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi
Surabaya, Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak
mencerminkan realitas.
"Ada yang tidak diperhitungkan,
perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam sampai tujuh batang. Itu
sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya sekian, tetapi di dalamnya
ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.
3.2 Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan bisa
dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut
mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup
menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk
laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan
ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang
dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari
$2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan
ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat pada
periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis
kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga
mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang
paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran
kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan
kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran
kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat
dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin,
dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini
biasanya disebut sebagai negara berkembang.
3.3 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
· penyebab individual, atau patologis, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari
si miskin;
· penyebab keluarga, yang menghubungkan
kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
· penyebab sub-budaya
("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
· penyebab agensi, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
· penyebab struktural, yang memberikan
alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa
kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya
memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak
sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal
melewati atas garis kemiskinan.
3.4 Kemiskinan Di Indonesia
Pengentasan
kemiskinan tetap merupakan salah satu
masalah yang paling mendesak di
Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan
kurang dari AS$2-per hari hampir sama dengan jumlah total penduduk yang hidup
dengan penghasilan kurang dari AS$2- per hari dari semua negara di kawasan Asia
Timur kecuali Cina. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Di samping turut menandatangani Tujuan
Pembangunan Milenium (atau Millennium Development Goals) untuk tahun 2015,
dalam RPJM-nya pemerintah telah menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan
kemiskinan untuk tahun 2009, termasuk target ambisius untuk mengurangi angka
kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun
2009. Walaupun angka kemiskinan nasional
mendekati kondisi sebelum krisis, hal ini tetap berarti bahwa sekitar 40 juta orang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Lagi
pula, walaupun Indonesia sekarang merupakan negara berpenghasilan menengah,
proporsi penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari sama
dengan negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan ini, misalnya Vietnam.
Ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan
di Indonesia. Pertama, banyak rumah
tangga yang berada di sekitar
garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga
banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap
kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga
tidak menggambarkan batas kemiskinan
yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong (miskin dari segi pendapatan) dapat
dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan
dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan
beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan
antar daerah merupakan ciri mendasar
dari kemiskinan di Indonesia.
- Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional
sejumlah besar penduduk yang hidup
sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh rakyat
2.
Kemiskinan dari segi
non-pendapatan adalah
masalah yang lebih
serius dibandingkan dari kemiskinan dari segi pendapatan. Bidang-bidang
khusus yang patut diwaspadai adalah:
· Angka gizi buruk (malnutrisi)
yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun terakhir: seperempat anak di bawah
usia lima tahun menderita gizi buruk di
Indonesia, dengan angka gizi
buruk tetap sama dalam tahun- tahun terakhir kendati telah terjadi penurunan
angka kemiskinan.
· Kesehatan ibu yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, angka kematian ibu
di Indonesia adalah 307 (untuk 100.000 kelahiran hidup), tiga kali lebih besar
dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia hanya sekitar 72
persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
· Lemahnya hasil
pendidikan. Angka melanjutkan
dari sekolah dasar
ke sekolah menengah masih rendah, khususnya di antara penduduk miskin:
di antara kelompok umur 16-18 tahun pada kuintil termiskin, hanya 55 persen
yang lulus SMP, sedangkan angka untuk kuintil terkaya adalah 89 persen untuk
kohor yang sama.
· Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara
penduduk miskin. Untuk kuintil
paling rendah, hanya 48 persen yang
memiliki akses air bersih di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan, 78
persen.
· Akses terhadap sanitasi
merupakan masalah sangat penting.
Delapan puluh persen penduduk
miskin di pedesaan dan 59 persen penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki
akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu persen dari
seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran berpipa.
3.
Perbedaan antar daerah yang besar di bidang kemiskinan. Keragaman antar
daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan dengan adanya
perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat sekitar
57 persen dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki
akses terhadap pelayanan infrastruktur dasar hanya sekitar 50 persen masyarakat
miskin di pedesaan mempunyai akses terhadap sumber air
bersih, dibandingkan dengan 80 persen
bagi masyarakat miskin di perkotaan.
Tetapi yang penting, dengan melintasi kepulauan Indonesia yang sangat
luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu
sendiri.
3.5 Prioritias Untuk Pengentasan
Kemiskinan
Strategi
pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen:
- Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
- Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
- Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
Sebagai kesimpulan, masalah kemiskinan
Indonesia yang terus ada dan bersifat khas, digabung dengan prioritas
pemerintah dan kemampuan fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada
dalam posisi untuk meraih kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan
kemiskinan. Pertanyaannya adalah: dari
mana semua harus dimulai? Berbagai tindakan
diperlukan di beberapa bidang untuk
menangani empat butir penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu:
- mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan
- memperkuat kemampuan sumber daya manusia
- mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan
- memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Mengingat ke-empat butir tersebut di
atas, maka ada 16 tindakan berikut merupakan prioritas untuk dilakukan dengan
segera. Ke 16 tindakan itu yaitu:
1)
Hapuskan larangan impor beras.
2)
Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses
dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3)
Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu
layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik
ke layanan kesehatan.
4)
Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang
sangat tinggi di Indonesia.
5)
Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi berbeda
antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6)
Tangani krisis sanitasi
yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7)
Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalan
desa.
8)
Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis
masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9)
Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10)
Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan
membangun kembali riset dan penyuluhan.
11)
Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan
tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12)
Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13)
Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan
akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14)
Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di
tingkat nasional untuk penyediaan
layanan.
15)
Jalankan program pengembangan
kapasitas untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam
merencanakan, menganggarkan dan
melaksanakan program pengentasan
kemiskinan.
16)
Perkuat monitoring dan kajian
terhadap program kemiskinan.
3.6 Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap
Tinggi
Ketika program
subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga angka kemiskinan
meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World Bank East Asia
Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka kemiskinan tahun depan
akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
"Program
Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan terlalu kecil untuk
meredam dampak berakhirnya SLT," kata laporan itu.
Kajian Tim
Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di tim itu
menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli
rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya
harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta
banjir di beberapa daerah.
"Angka
kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan, melakukan perubahan dan
rekayasa metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau pembersihan
sampel data, yang merupakan cara yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat
memalukan baik secara moral maupun intelektual," tutur pengamat ekonomi
Imam Sugema. Namun, di luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta
orang dari tahun lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per
kapita per bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah
penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat yang berada di
garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan pokok. Di
samping itu, walau harga beras naik, namun diimbangi dengan digelontorkannya
program beras bagi masyarakat miskin.
BPS menilai walau pun SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang
dapat menggunakan duit yang berasal dari SLT untuk bekerja informal. Terkait
kemiskinan ini, analisa Bank Dunia menunjukkan, perbedaan antara orang miskin
dan yang hampir miskin di Indonesia sangat kecil.
Kerentanan untuk
jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, ada tiga ciri
menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada
di sekitar garis kemiskinan yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55
per hari. Sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan
terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran
kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak menggambarkan batas
kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin
dari segi pendapatan, tapi dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya
akses terhadap pelayanan dasar. Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan
manusia.
Ketiga, mengingat
sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan
ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana
yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai tidak menyentuh langsung ke
permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan
Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang
langsung bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian,
walau dari sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya,
kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah
penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka pengangguran di Indonesia.
Tidak terserapnya angkatan kerja, memang disebabkan lambatnya laju ekspansi
sektor usaha. Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada
Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau bertambah 174 juta orang
dibanding angkatan kerja Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari
penambahan angkatan kerja itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada
Februari tahun ini mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah
pengangguran di Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun
juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil, maka
pengangguran masih akan membengkak karena angkatan kerja terus bermunculan dan
jumlah penduduk yang belum bisa diatasi seperti terlihat pada data periode
Maret 2006 populasi penduduk sebesar 221,328 juta orang menjadi 224,177 juta
orang di 2007.
Tugas berat bagi
pemerintah saat ini maupun pemerintah yang selanjutnya memang mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran. Tentu kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara
ini tidak lagi terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi
satu untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
Dua Paradigma
Ada semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua paradigma berbeda tentang cara pencapaiannya.
è Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.
è Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya, sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Ada semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua paradigma berbeda tentang cara pencapaiannya.
è Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.
è Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya, sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Empat Acuan
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan yang ada sekarang guna memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa pemerintahannya.
à Pertama, pengetasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya belum maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.
à Kedua, negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (baca: World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak.
à Ketiga, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan lewat berbagai kebijakan dan regulasi.
à Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan yang ada sekarang guna memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa pemerintahannya.
à Pertama, pengetasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya belum maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.
à Kedua, negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (baca: World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak.
à Ketiga, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan lewat berbagai kebijakan dan regulasi.
à Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
Genealogi Pemberantasan Kemiskinan
Menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1) kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1) kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Kemiskinan jamak terjadi di
negara berkembang, namun eksis pula di negara maju dalam bentuk komunitas
tunawisma dan ghetto (daerah kumuh). Di Indonesia sendiri, menurut data Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (dibentuk tahun 2005 melalui Perpres Nomor
54, lihat www.tkpkri.org), Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan
kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun
(Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis
politik tahun 1965. Adapun pada era Orba, melalui Repelita dilakukan strategi
khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi, yang mengerucut menjadi
program Inpres Desa Tertinggal ( IDT). Namun, usaha Orba ini pun gagal akibat
krisis ekonomi dan politik tahun 1997.
Selanjutnya, era reformasi menelurkan program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keppres Nomor 190 Tahun 1998. Berbagai usaha di atas
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data UNDP menyebutkan, Indeks
Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI) yang memfokuskan perhatiannya pada
proporsi manusia yang berada di bawah ambang batas dimensi pembangunan manusia
yang sama dengan indeks pembangunan manusia-panjang umur dan hidup sehat,
memiliki akses terhadap pendidikan, dan standar hidup yang layak, menyimpulkan
Nilai HP-1 untuk Indonesia, yaitu 18,5, berada di urutan 41 dari 102 negara
berkembang (data tahun 2005). Indeks ini semakin buruk dalam krisis energi dan
pangan saat ini, ketika harga melonjak dan membuat pemenuhan kebutuhan dasar
(pangan, pendidikan, kesehatan) semakin tak terjangkau
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan
di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan. Berikut ada 16
cara yang dapat dilakukan untuk mengentasakan kemiskinan tersebut yaitu:
1)
Hapuskan larangan impor beras.
2)
Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses
dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3)
Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu
layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik
ke layanan kesehatan.
4)
Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang
sangat tinggi di Indonesia.
5)
Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi
berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6)
Tangani krisis sanitasi
yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7)
Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalan
desa.
8)
Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis
masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9)
Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10)
Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan
membangun kembali riset dan penyuluhan.
11)
Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan
tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12)
Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13)
Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan akses
usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14)
Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di
tingkat nasional untuk penyediaan
layanan.
15)
Jalankan program pengembangan
kapasitas untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam
merencanakan, menganggarkan dan
melaksanakan program pengentasan
kemiskinan.
16)
Perkuat monitoring dan kajian
terhadap program kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, S. 2001. Penataan Ruang
dalam Rangka Mendorong Pengembangan Ekonomi Wilayah. Tangerang: Cipta.
Amar, Syamsul, (2000). Analisis Ekonomi Tentang Kemiskinan Dan Implikasi
Kebijaksanaannya di Pedesaan di Propinsi Sumatera Barat, Unair, Surabaya.
Frank, Robert H, (1991). Microeconomics and Behaviour, Third
edition, The Mc Graw Hill Companies Inc. USA.
Nurwidiastuti, (2001). Kemiskinan : Telaah Kritis dan Alternatif
Penanggulangannya, Kajian Bisnis, 24 September-Desember 2001, STIE Widya
Wiwaha.
Sulistyowati, Endang, (2002). Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. 13, No. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar