“KONSEP GOOD GOVERNANCE, SOUND
GOVERNANCE DAN DYNAMIC GOVERNANCE”
Oleh : Igusti
Firmansyah, S.Sos
PENDAHULUAN
Kekuatan sentral di balik perubahan ini dan
transformasinya adalah globalisasi kapital, tepatnya proses yang mempengaruhi
negara-bangsa, ekonomi, pasar, institusi, dan budaya. Proses globalisasi ini
dipercepat oleh sejumlah faktor atau daya, seperti inovasi teknologi; penurunan
ekonomi domestik dari negara-negara industri kuat di Utara; tekanan militer dan
politik dari bangsa di negara dunia ketiga; hancurnya USSR sebagai kekuatan
sistem dunia alternatif; peran propaganda ideologi Barat; peran agensi United
Nations seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World
Trade Organization (WTO); bertambahnya harapan rakyat, termasuk kebutuhan
pekerja dalam berbagi kekuasaan dalam demokrasi manajemen dan organisasi; dan
ketersediaan tenaga kerja murah antar gender dan kelompok nasional di seluruh
dunia.
Dengan cepatnya proses globalisasi, muncullah gerakan grassroot dunia dalam kontra-globalisasi. Ini adalah sebuah gerakan global yang dimaksudkan untuk mengurangi fallout globalisasi seperti degradasi lingkungan, penjarahan ekonomi, kemiskinan, pekerja paksa, pekerja anak, dan budak upahan. Transformasi pemerintah dan administrasi ini seperti menentang proses, struktur dan nilai dari governance dan administrasi publik. Dari situ, kebutuhan akan pembentukan kapasitas, peningkatan dan inovasi dalam kebijakan dan manajemen terkesan lebih urgen daripada sebelumnya jika pemerintah ingin menghadapi dan menindaklanjuti tantangan globalisasi. Apa yang dibutuhkan adalah aplikasi sebuah konsep baru “governance yang jelas”.
Pendahuluan ini menggambarkan persoalan sentral “governance yang jelas” di jaman peningkatan kompleksitas global, tantangan, ancaman dan peluang yang mempengaruhi negara-bangsa, pemerintah lokal, rakyat, organisasi dan sistem administratif. Elemen penting yang ada di sini adalah dua fitur penting inovasi kebijakan dan administratif yang diperiksa lewat analisis beragam dimensi dan jalur governance yang jelas, seperti organisasi; struktur antar- dan dalam-organisasi; aspek manajerial, politik dan ekonomi; kebijakan; dan ekologi global. Diskusi pendahuluan ringkas ini dibingkai dalam empat topik yaitu (1) konsep governance dengan beragam prinsip, dan fokus ke governance yang jelas; (2) dimensi, persoalan pokok, dan karakteristik governance yang jelas; (3) inovasi kebijakan dan administratif bagi governance yang jelas; dan (4) rencana dan deskripsi buku.
Dengan cepatnya proses globalisasi, muncullah gerakan grassroot dunia dalam kontra-globalisasi. Ini adalah sebuah gerakan global yang dimaksudkan untuk mengurangi fallout globalisasi seperti degradasi lingkungan, penjarahan ekonomi, kemiskinan, pekerja paksa, pekerja anak, dan budak upahan. Transformasi pemerintah dan administrasi ini seperti menentang proses, struktur dan nilai dari governance dan administrasi publik. Dari situ, kebutuhan akan pembentukan kapasitas, peningkatan dan inovasi dalam kebijakan dan manajemen terkesan lebih urgen daripada sebelumnya jika pemerintah ingin menghadapi dan menindaklanjuti tantangan globalisasi. Apa yang dibutuhkan adalah aplikasi sebuah konsep baru “governance yang jelas”.
Pendahuluan ini menggambarkan persoalan sentral “governance yang jelas” di jaman peningkatan kompleksitas global, tantangan, ancaman dan peluang yang mempengaruhi negara-bangsa, pemerintah lokal, rakyat, organisasi dan sistem administratif. Elemen penting yang ada di sini adalah dua fitur penting inovasi kebijakan dan administratif yang diperiksa lewat analisis beragam dimensi dan jalur governance yang jelas, seperti organisasi; struktur antar- dan dalam-organisasi; aspek manajerial, politik dan ekonomi; kebijakan; dan ekologi global. Diskusi pendahuluan ringkas ini dibingkai dalam empat topik yaitu (1) konsep governance dengan beragam prinsip, dan fokus ke governance yang jelas; (2) dimensi, persoalan pokok, dan karakteristik governance yang jelas; (3) inovasi kebijakan dan administratif bagi governance yang jelas; dan (4) rencana dan deskripsi buku.
Keragaman
dan Kerumitan Konsep
Sejumlah konsep yang beragam muncul selama dua
dekade terakhir yang merefleksikan perspektif konseptual dan ideologi tentang
governance dan administrasi. Konsep ini, yang beragam seperti yang dibayangkan,
memberikan sedikitnya dua set peluang atau batasan dan tantangan.
Peluang
ini ditunjukkan oleh kreativitas dan inovasi dalam konseptualisasi seputar
prinsip governance dan administrasi; ini memberikan kadar pengetahuan baru
tentang subyek penyidikan. Ini adalah wacana sehat yang bisa menghasilkan
solusi yang lebih baik kepada masalah kebijakan publik dan organisasi; dan
menawarkan ide revitalisasi dan peningkatan sistem pemerintah dan administrasi.
Peluang juga terbentuk seiring beragamnya governance dan administrasi lewat
cara eksperimentasi dan praktek yang memverifikasi atau mengabaikan ide baru
yang dianggap tinggi. Secara keseluruhan, uji coba ini mendukung proses
pembelajaran baru, yaitu metode pembelajaran historis yang menjadi alat efektif
dalam peningkatan inkremental governance dan administrasi.
Di
lain pihak, keragaman konsep juga menghasilkan tantangan dan kendali baru yang
menambahkan dimensi baru dalam teori dan praktek administrasi dan pemerintah.
Pertama, kerumitan muncul dalam beragam perspektif, khususnya ketika tidak ada
konsensus atau kesepakatan seputar governance dan administrasi. Kedua,
penggunaan konsep spesifik atau prinsip governance oleh banyak pemerintah dan
organisasi bisa menimbulkan prominensi dan dominansi dalam teori dan praktek,
tapi ini tidak membuktikan superioritasnya atas model alternatif yang
dikesampingkan atau yang diabaikan. Contoh masalah ini adalah penggunaan new
public management dan privatisasi menyeluruh sebagai syarat dari program
penyesuaian struktural yang dijalankan di negara dunia ketiga oleh
lembaga-lembaga United Nations seperti IMF, WB, dan WTO, yang menjadi instrumen
institusional pokok dari negara global dan korporasi kekuasaan Barat.
Selanjutnya,
batasan dan tantangan bisa muncul ketika pencarian menjadi tiada henti dan
ditanggung sendiri, dengan hasil berupa akibat berbeda yang bisa merugikan
pihak yang terpengaruh oleh eksperimen. Reformasi hanya untuk mereformasi malah
dikatakan tidak berperasaan, mahal dan sia-sia. Meski begitu, kegagalan dan
tantangan negatif bisa menjadi sumber pembelajaran untuk peningkatan lebih
lanjut.
GOOD
GOVERNANCE
Konsep “good governance” yang dikemukakan oleh
lembaga United Nations seperti WB, IMF, UNDP, dan UNDESD, atau pemerintah dan
korporasi Barat, menjadi salahsatu kebutuhan paling mendesak di negara-negara
dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin/Sentral sebagai kondisi untuk
bantuan internasional. Sebagai bagian dari struktural adjustment program (SAP),
agensi United Nations, menurut instruksi dan tekanan institusi donor di Utara
(pemerintah dan korporasi Barat), menuntut supaya negara berkembang mau
menggunakan prinsip “good governance” dengan mengimplementasikan sejumlah
reformasi struktural dan kebijakan dalam pemerintah dan masyarakatnya sebagai
kondisi dari bantuan internasional. Seminar, workshop dan konferensi dilakukan
di seluruh dunia yang menekankan konsep dan menghendaki perlunya hasil
pembangunan berkelanjutan (UNDP, 1997a, 1997b).
Meski
begitu, konsep “good governance” menuai kritik serius atau bahkan pujian yang
mendunia. Contoh, bekas presiden Tanzania, Julius K. Nyerere, saat berpidato di
UN Conference on Governance in Africa di tahun 1998, mengkritik prinsip “good
governance” sebagai sebuah konsep yang imperialistik dan koloni. Dia melihatnya
sebagai sebuah konsep yang dipaksakan pada negara berkembang dan kurang maju di
Afrika oleh kekuasaan Barat industri dan korporasi global transnasional.
Menurutnya, korporasi dan pemerintah donor ini, atau organisasi wakil UN,
menganggap bahwa governance di Afrika sudah “sedemikian buruk” sehingga
memutuskan harus mereformasinya supaya “baik” dengan menyusutkan ukuran
administrasi negara dan masyarakat, memperluas sektor bisnis privat lewat
privatisasi, dan membuat jaln menuju korporasi kapitalis global untuk mencari
profit tinggi dan menghasilkan perpaduan ke dalam sistem pasar global (UNDESA,
1998).
Pendeknya,
prinsip “good governance” dipromosikan lewat agensi internasional atau
konsultan korporat dan pemerintah yang tujuannya adalah mereformasi pemerintah
dan ekonomi di negara berkembang guna mengundang elit korporat global. Prinsip
good governance, meski begitu, terdengar bagus dan begitu juga tampilannya, tapi
ini masih memberikan orientasi normatif, mendukung elit bisnis dan politik yang
kuat, dan mengedepankan kepentingan elit korporat dalam skala nasional dan
global. Konsep ini dikatakan defisien karena masih tidak jelas dan membawa
nilai normatif yang terlalu tinggi sehingga cenderung meningkatkan kepentingan
politik dan ekonomi dari elit dominan, imperialistik dan global, sekaligus
menyurutkan tradisi pemerintah di negara berkembang. Apa yang didefinisikan
baik oleh orang kaya sepertinya tidak begitu baik untuk masyarakat miskin dan
kelas bawah di bangsa yang kurang maju, dan tidak ada alasan bagi kelompok ini
untuk mempercayai prinsip baru yang disebut “good governance”.
Pengertian
Good Governance
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good
governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses
pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara
bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara,
dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Good
Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan
sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi
perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih
sehingga Good Governancemerupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak
diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan
Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di
Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita
Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam
pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Prinsip
Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good
governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good
governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
- Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar
setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran
komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat
secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah
melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
- Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan
publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam
proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen
untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain
sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum
(legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten
dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
- Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
- Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani
semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha,
pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good
governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya.
Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha
adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh
setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis
berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social
Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai
kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya.
Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan
untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal
maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan
dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada
bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk
didalamnya publik.
- Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat
memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi
keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan
memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks
pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah
persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin
banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipasi,
maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata
pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
- Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan
mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan
informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada
masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi
seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio
serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas
tentang cara mendapatkan informasi
- Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas,
pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi
kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna.
Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan
lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan
harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan
nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan
perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat
akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi
bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
- Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar
akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen
politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan
sanksi yang jelas dan tegas.
- Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang
luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan
perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas
kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.
Penerapan
Good Governance di Indonesia
Good
Governance diIndonesia
sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era
Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem
pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam
pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang
sudah berjalan selama 12 tahun ini, penerapan Good Governance
diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita
Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam
pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Akan tetapi,
Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan
pemerintah dalam menciptaka iklim Good Governance yang baik, diantaranya
ialah mulai diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN
sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan
kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena
itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial
dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya.
Undang-undang, peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good
governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika
dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir
pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan
sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga
masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan
berbasis Good Governance.
Diterapkannya
Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam
sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif
terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate
Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa
Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
SOUND
GOVERNANCE
Konsep “sound governance” digunakan sebagai
alternatif dari istilah good governance karena beberapa alasan. Pertama, ini
lebih komprehensif daripada konsep lain yang ditinjau sebelumnya, dan berisi
elemen governance global atau internasional yang penting. Kedua, ini juga
berisi fitur normatif atau teknis dan rasional dari good governance. Meski
begitu, ini menghasilkan pandangan seimbang seputar governance yang kurang
condong, dan mempertimbangkan fitur murni dari sistem governance pribumi yang
mungkin berkonflik dengan struktur kekuatan neo-kolonialis dominan. Dengan kata
lain, sebuah pemerintah atau governance bisa dikatakan sound (jelas) meski sistemnya
berkonflik dengan kepentingan imperialis dan kebijakan intervensinya. Ketiga,
konsep sound governance memiliki karakteristik kualitas governance yang lebih
unggul daripada good governance, dan dianggap jelas secara teknis, profesional,
organisasional, manajerial, politik, demokratik dan ekonomi. Ini juga dikatakan
jelas dalam kapasitas dan perilaku antisipasinya; ini dikatakan demokratik
dalam karakter, respon dan kompetensinya; dan nilai budayanya ditanamkan dalam
nilai dan struktur masyarakat. Keempat, sound governance bercocokkan dengan
nilai konstitusi dan responsif kepada norma, aturan dan rejim internasional.
Good governance yang didefinisikan sebagai proponennya sering mengabaikan fitur
konstitusional penting yang membatasi negara-bangsa dan pemerintah berdaulat.
Kelima,
konsep sound governance berawal dari kerajaan negara-dunia pertama Persia yang
memiliki sistem administrasi efektif dan efisien (Cameron, 1968; Cook, 1985;
Farazmand, 1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). Menurut Darius
the Great, ataupun Cyrus pengganti the Great, “tidak ada kerajaan yang bertahan
tanpa adanya ekonomi dan sistem pemerintahan dan administrasi yang jelas”.
Kerajaan Persia perlu menguatkan sistem pemerintahan dan administrasinya dengan
kebijakan ekonomi, manajerial dan organisasi yang jelas, yang bukan hanya
efisien dalam menangani urusan kerajaan yang wilayahnya luas, tapi juga efektif
dalam kontrol politis dan respon antisipasi kepada krisis dan darurat yang
tidak diharapkan. Manajemen strategis dan struktur governance kontingensinya
telah tertata baik untuk mengurusi dan menangani kerajaan negara-dunia yang
begitu besar sampai mencakup keseluruhan dunia kuno.
Meski
konsep kuno sound government bukanlah yang terdengar demokratik dibanding
standar kontemporer, penggunaannya lewat reformasi struktural di bidang
keuangan, manajemen, komunikasi, hukum dan pemerintah lokal yang didasarkan
pada prinsip “toleransi” adalah sebuah ide baru. Saat ini, konsep sound
governance telah mengalahkan konsep governance lain. Sebelum memahami dimensi
dan elemen atau karakteristiknya, sebuah
definisi perlu diberikan ke konsep tersebut.
Istilah
governance menunjukkan prinsip pemerintah dan administrasi yang jauh lebih
komprehensif daripada istilah government dan governing. Governance berarti
proses partisipasi dalam penanganan urusan sosial, ekonomi dan politik dari
sebuah komunitas negara atau lokal lewat struktur dan nilai yang mencerminkan
masyarakat. Ini bisa memandang negara sebagai institusi pendukung, kerangka
konstitusional, masyarakat sipil, sektor privat, dan struktur institusional
internasional/global dalam batasannya. Di sini, governance digunakan sebagai
sebuah konsep yang lebih luas daripada bentuk pemerintah yang tradisional,
unilateral dan otoriter yang mana elit governing-nya hanya duduk dalam posisi
komando unilateral.
Governance
karena itu dikatakan inklusif, dan mengundang partisipasi dan interaksi dalam
lingkungan nasional dan internasional yang kompleks, beragam dan dinamis.
Konsep “soundness” digunakan untuk menggambarkan governance dengan kualitas
unggul dalam fungsi, struktur, proses, nilai, dimensi, dan elemen yang
dibutuhkan dalam governing dan administrasi. Governing merupakan fungsi
governance oleh apapun aktor atau otoritas atau institusi, termasuk yang
non-pemerintah, sedangkan governance berisi proses, struktur, nilai, manajemen,
kebijakan, dan administrasi. Konsep sound governance digunakan di sini untuk
menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas secara demokratik, dan
tanpa cacat secara ekonomi/finansial, politik, demokratik, konstitusional,
organisasi, administratif, manajerial, dan etika, tapi juga jelas secara
internasional/global dalam interaksinya dengan negara-bangsa lain dan dengan
bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri. Sound governance
merefleksikan fungsi governing dan administratif dengan kinerja organisasi dan
manajerial yang jelas yang bukan hanya kompeten dalam perawatan, tapi juga
antisipatif, responsif, akuntabel dan transparan, dan korektif; dan
berorientasi strategis dan jangka panjang meski operasinya dalam jangka pendek. Dimensi
Sound Governance Sound governance berisi beberapa komponen atau
dimensi. Sebagai elemen vibrant dari sebuah sistem dinamis, elemen komponen ini
berinteraksi secara dinamis satu sama lain, dan semuanya membentuk kesatuan
yang mempertimbangkan keragaman, kompleksitas dan intensitas internal, dan
menindaklanjuti tantangan, batasan, dan peluang eksternal. Fitur dinamis
internal dan eksternal bisa berinteraksi secara konstan, yang membuat sistem
governance dinamis difokuskan pada arah dan aksi menurut tujuannya.
Keragaman
ini memberikan peluang bagi sistem governance untuk menerima feedback dari
kekuatan dialektik lawan yang menjadi mekanisme check and balance. Keragaman
juga menyuntikkan darah baru ke dalam sistem, dan menghasilkan inovasi dan
kreativitas. Kompleksitas terbentuk sebagai hasil keragaman dinamis dan
melibatkan sejumlah kekuatan eksternal dan peripheral yang menantang
pelaksanaan sistem governance. Kompleksitas, karena itu, adalah sebuah produk
bertambahnya interaksi antar kekuatan dialektik yang tetap mengisi bidang
sistem governance dengan sejumlah aktivitas. Proses ini menghasilkan beragam
intensitas dalam sistem governance, dalam operasi internasionalnya, dan dalam
respon dinamisnya ke tekanan, peluang dan batasan lingkungan eksternal – secara
lokal, nasional, regional dan global. Semakin eksternal peluang dan elemen
pendukungnya, semakin lancar pelaksanaan sistemnya secara internal.
Sebaliknya,
semakin banyak tekanan, tantangan dan batasan yang lebih eksternal (misal,
sangsi, propaganda, kekerasan, konflik perbatasan, perang dan tekanan
finansial/ekonomi internasional), maka semakin sulit pelaksanaan sistem
governance internal. Meski begitu, ini juga memberikan sebuah peluang baru bagi
sistem governance di tengah perselisihan; meningkatnya intensitas interaksi
dinamis internal antar kekuatan oposan dialektik dalam sebuah medan energi,
atau tepatnya sebuah proses yang meningkatkan level pembentukan kapasitas,
inovasi, kreativitas, dan respon adaptif. Ini adalah sebuah karakteristik sehat
dari proses dan struktur dinamis dalam sistem sound governance, karena sistem
tersebut didorong untuk menghasilkan kemandirian lewat kreativitas dan
inovasinya dalam kebijakan dan administrasi di berbagai bidang, dan didorong
untuk melakukan lompatan ke arah pembentukan kapasitas dan peningkatan
administrasi dan self-governance. Kualitas governance-lah yang membuat sistem
menjadi jelas dan dinamis.
Sound
governance memiliki banyak dimensi. Ini meliputi (1) proses, (2) struktur, (3)
kognisi dan nilai, (4) konstitusi, (5) organisasi dan institusi, (6) manajemen
dan kinerja, (7) kebijakan, (8) sektor, (9) kekuatan internasional atau
globalisasi, dan (10) etika, akuntabilitas dan transparansi. Setiap dimensi ini
bekerjasama dengan lainnya seperti orkestra, dengan leadership yang jelas dan
partisipasi dinamis elemen atau komponen interaktif, sehingga memberikan
kualitas sistem governance di luar harapan.
DYNAMIC
GOVERNANCE
Institusi pemerintahan berpengaruh terhadap
persaingan ekonomi dan pembangunan sosial pada sebuah negara. Kedua hal
tersebut ditentukan oleh interaksi antara pemerintah dan rakyatnya dalam
memfasilitasi atau menghambat pertumbuhan dan pembangunan. Hambatan ini dikarenakan
fungsi monopoli pemerintah yang tidak terbiasa dengan kompetisi pasar untuk
memproduksi barang dan jasa. Dinamisme mempertahankan perkembangan sosial dan
ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dengan perubahan yang sangat cepat.
Dinamisme harus didukung dengan sophisticated society yang berisikan
orang-orang terdidik dan lebih terekspos terhadap globalisasi.
Sejak tahun 2005, ide dynamic governance ini telah menarik perhatian. Mereka
menganggap serius hal ini sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan,
dianalisa. Neo dan Chen mendiskusikan dan mengkonseptualisasikan tiga kemampuan
suatu pemerintahan. Pertama, think ahead—kemampuan menganalisa kondisi di masa
depan yang penuh dengan ketidakpastian dari lingkungan eksternal dengan melihat
peluang-peluang baru dan potensi ancaman yang ada. Kemampuan ini membuat sebuah
institusi dapat memprediksikan perkembangan di masa depan. Hal ini akan
berdampak pada pencapaian tujuan dari institusi pemerintah untuk mengatur
negaranya. Kedua, think again—kemampuan mengevaluasi dan mengidentifikasi
perubahan kebijakan yang telah ditetapkan agar memperoleh hasil dan kualitas
yang lebih baik. Sehingga intitusi dapat mengemukakan permasalahan dan isu yang
dihadapi, dan melihat bagaimana cara untuk meningkatkan performa institusi
tersebut. Hal ini membutuhkan efesiensi dan efektifitas kebijakan yang telah
dibuat dan juga ketepatan dalam penjapaian tujuan dan penetapan strategi.
Ketiga, think across—kemampuan melintasi batas-batas tradisional untuk ‘berpikir
diluar batas’, juga untuk ‘belajar dari orang lain’ apabila terdapat ide-ide
bagus yang dapat diadopsi dan diadaptasi sebagai inovasi baru dalam pembuatan
kebijakan. Itu seperti meng-copy aturan dan kegiatan/praktek yang telah
berhasil diterapkan di suatu tempat. Hal ini mengizinkan transfer pengetahuan
antar negara dengan mengadopsi program dari suatu negara dan disematkan kedalam
institusi lokal dan lingkungan kebijakan. Selain itu, kita harus mengerti
‘bagaimana menerapkannya, bagaimana itu bekerja dengan baik atau mengapa itu
tidak bekerja dengan baik’ dan bagaimana kita menerapkannya dengan sudut
pandang yang berbeda dari ide dasarnya.
Adaptasi kebijakan bukanlah semata-mata reaksi pasif
terhadap tekanan dari eksternal tetapi merupakan sebuah pendekatan proaktif
terhadap inovasi, kontekstualisasi, dan eksekusi. Inovasi kebijakan berarti ide
baru dan segar yang diinjeksi ke dalam suatu kebijakan sehingga dapat dicapai
hasil yang berbeda dan lebih baik. Ide-ide ini dikonversi menjadi suatu
kebijakan sehingga masyarakat akan menghargai dan mendukung kebijakan tersebut.
Akan tetapi, hal ini tidak hanya tentang ide dan desain kontekstual tetapi juga
eksekusi kebijakan yang membuat dynamic governance menjadi nyata.
Implementasi Dynamic Governance
Oleh
karena esensi dasar dari dynamic governance adalah perlunya melakukan
perubahan untuk mengantisipasi perubahan yang cepat dan kadang tidak
terantisipasi, maka konsep dynamic governance dapat diterapkan pada
organisasi publik maupun privat.Pada
penyelenggaraan pemerintahan daerah misalnya, kegiatan thinking ahead
dilakukan dengan menganalisis dan memproyeksi apa yang akan dihadapi dalam 10,
15 atau 20 tahun ke depan berdasarkan arah kecenderungan perubahan
(nasional, regional, dan global), konstalasi politik, dan sosio-ekonomi
masyarakat. Sederetan asumsi dan proyeksi serta pertanyaan dapat diajukan
sebagai langkah awal melakukan analisis seperti: proyeksi laju pertumbuhan
penduduk, derajat kesehatan masyarakat, tingkat konsumsi / daya beli dan
pendidikan masyarakat, ketersediaan lapangan kerja, pertumbuhan angkatan kerja,
kebutuhan ketersediaan infrastruktur pertanian (lahan perkebunan, persawahan,
perkebunan, dan jaringan infrastruktur pendukung lainnya) bagi daerah yang
memiliki potensi agraris, kebutuhan ketersediaan infrastruktur ekonomi
(perbankan, lembaga keuangan, pasar modern/tradisional), infrastruktur sosial,
pendidikan, dan kesehatan (jalan, tempat ibadah, tempat rekreasi, gedung
sekolah, rumah sakit, pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan lain-lain),
proyeksi peluang pasar bagi hasil pertanian dan industri, proyeksi kebutuhan
tingkat kualitas dan jenis keterampilan serta jumlah aparat pemerintah yang
dibutuhkan pada masing-masing satuan kerja pemerintah daerah, kreteria pimpinan
pimpinan daerah masa depan, dan lain-lain.
Dalam thinking
again dapat dipertanyakan: apakah kebijakan, strategi, dan program
pembangunan sedang berjalan sudah tepat? Sudah memenuhi tuntutan
kebutuhan pasar (masyarakat)? Apakah pembangunan berjalan telah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meningkatkan daya beli masyarakat,
mengurangi penduduk miskin, meningkatkan pola pikir dan tingkat pendidikan
masyarakat? Apakah anggaran tersedia lebih banyak digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja, pengembangan usaha
rakyat, penyediaan infrastruktur? Apakah kuantitas dan kualitas aparatur
pemerintah daerah telah tersedia memadai, dan bekerja optimal sesuai bidangnya?
Apakah satuan kerja perangkat daerah telah melaksanakan tugas pokok fungsi
masing-masing secara optimal? Apakah kepemimpinan pemerintahan daerah dapat
mengorganisir secara baik dan memberikan dukungan moral dan material secara
memadai pada segenap aparat pemerintah yang dipimpinnya? Apakah pimpinan daerah
dapat bekerja secara adil, dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat bukan
kepentingan pribadi atau kelompok politiknya? Apakah penempatan pejabat pada
jabatan tertentu telah sesuai aturan yang ada? Apakah ada jaminan karier bagi
pejabat/pegawai berprestasi? dan lain-lain. Kaji ulang dimaksudkan untuk
melihat kesiapan kemampuan daerah untuk melaksanakan tugas masa kini dan masa
datang.
Thinking
across dapat dilakukan dengan belajar
dari pengalaman negara lain atau institusi sejenis baik di dalam negeri
maupun luar negeri. Mendatangkan orang yang dianggap ahli pada bidang tertentu
yang dibutuhkan atau mengirimkan pejabat/pegawai pada institusi tertentu ke
daerah atau negara lain agar memperoleh pengetahuan baru sesuai bidang
masing-masing. Tujuannya adalah menambah kemampuan, baik konseptual, managerial,
teknis, maupun kemampuan sosial. Banyak daerah yang memiliki karakteristik
budaya, geografi, dan sumber daya yang relatif sama dan berhasil dalam
pembangunan dapat dijadikan pelajaran untuk membangun daerah lain. Tukar
menukar pengalaman dan informasi untuk kebaikan bersama antar organisasi
pemerintah daerah diyakini akan bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan daerah
saat ini dan masa akan datang.
Faktor Pendukung
Penerapan
konsep dynamic governance pada pemerintahan daerah tergantung banyak
hal. Akselerasi perubahan juga dipengaruhi oleh banyak variabel, beberapa
kondisi/faktor yang perlu diperhatikan bagi penerapan dynamic governance
di daerah antara lain:
1. Komitmen
Komitmen
disini diartikan sebagai kesungguhan dari pemerintahan daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD) dan pimpinan instansi/dinas , badan/lembaga
daerah untuk melakukan perubahan yang konsisten dan berkelanjutan bagi kemajuan
daerah. Komitmen dari para petinggi daerah tersebut merupakan hal fundamental
mengingat posisi dan kewenangan mereka sebagai pembuat dan sekaligus pelaksana
kebijakan. Sebagai pembuat kebijakan mereka menentukan arah pembangunan yang
ingin dicapai melalui segenap peraturan daerah dan keputusan pendukung lainnya,
dan sebagai eksekutor mereka pulalah yang melaksanakan sekaligus mengawasi
berjalan tidaknya kebijakan yang mereka buat. Kewenangan daerah yang begitu
besar seperti diamanatkan Undang-undang dapat merugikan dan bahkan
menyengsarakan rakyat daerah bersangkutan jika dijalankan tanpa komitmen
tinggi.
2. Pengisian jabatan
Pengisian
jabatan tersedia harus benar-benar didasarkan pada syarat-syarat yang tertuang
dalam peraturan perundang-undangan dan kemampuan prestasi pegawai (merit
system) bukan atas dasar lain. Penyimpangan secara sengaja atau
pengabaian terhadap ketentuan berlaku akan merusak karier pegawai dan dan pada
gilirannya dapat merugikan masyarakat. Hal ini penting diperhatikan, karena
yang dapat melakukan proses thinking ahead, thingking again, dan thinking
across adalah para pejabat yang memiliki kewenangan formal maupun
akademik. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk untuk menduduki jabatan tertentu
atas dasar selera dan kedekatan hubungan dengan yang menunjuk dan
mengangkat tanpa memperhatikan kemampuan dan syarat administratif lainnya,
diyakini tidak akan dapat melakukan perubahan yang signifikan.
3. Pragmatisme
Dalam
banyak kasus hanya sedikit orang yang konsisten dengan idealismenya, meskipun
pada awal banyak orang memiliki idealisme namun pada pertengahan jalan larut
dengan kepentingan jangka pendek mengejar keuntungan pribadi, suku, dan
golongan. Pragmatisme terkait juga dengan budaya ingin serba seketika (instan)
yang telah terbentuk sebagai sebuah mindset dengan mengabaikan proses.
Peningkatan jenjang pendidikan yang niat awalnya sebagi upaya peningkatan
kualitas diri, namun dalam praktek dilakukan sekedar untuk mendapat ijazah
setingkat lebih tinggi tanpa tambahan pengetahuan yang memadai, adalah contoh
kecil pragmatisme. Ketidakmampuan unsur pimpinan pemerintahan daerah untuk
menjaga integritas, kejujuran dan menegakkan keadilan dalam berbagai hal akan
mendorong tumbuhnya primordialisme yang dapat menjadi lahan bagi berkembangnya
pragmatis dan pada gilirannya akan merugikan organisasi dan masyarakat.
4. Kemampuan Sumber
Daya
Secara
garis besar sumber daya menyangkut dua hal yaitu sumber daya yang tampak / tangible
( sumber daya alam, sarana/prasarana, sumber daya manusia) dan sumber daya
tidak tampak / intangible (konsep, fikiran, moral, budaya,
kepemimpinan, peraturan, dan lain-lain). Khusus sumber daya manusia tidak saja
menyangkut sumber daya aparatur pemerintahan daerah tetapi juga keseluruhan
warga masyarakat daerah. Tingkat pendidikan, moral dan budaya masyarakat akan
menentukan tingkat akseptabilitas terhadap suatu perubahan yang pada gilirannya
berimbas pada pola fikir, gaya kepemimpinan, dan kemampuan sumber daya aparatur
pemerintahan daerah, karena aparatur pemerintahan daerah merupakan bagian dari
warga masyarakat daerah.
Dynamic
Governance merupakan suatu konsep untuk mempertahankan dan mengembangkan
eksistensi suatu pemerintahan / organisasi agar tetap hidup (survive)
menghadapi perubahan global yang cepat dan tidak menentu. Organisasi pemerintah
/ organisasi lainnya tidak boleh statis, keberhasilan kebijakan, strategi, dan
program sedang berjalan atau masa lampau tidak menjamin kesuksesan masa depan.
Oleh karena itu diperlukan semangat/ dinamika untuk selalu menyesuaikan
kebijakan, strategi, dan program dengan perkembangan masa depan melalui thinking
ahead, thinking again, dan thinking across.
Sumber
:
Boon Siong Neo,
Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance, Embedding Culture, Capabilities
and Change in Singapore. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd
Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Gadjah Mada University Press. 2005
Efendy, Sofyan. 2005. “Membangun Good Governance”. Diakses
melalui situs http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf,
tanggal 28 juli 2013.
Farazmand, Ali. 2004.
Sound Governance, Policy and Administrative Innovation. Westport : Praeger.
Kaufmann Daniel, Aart
Kraay, dan Massimo Mastruzzi (2004). Governance Matters III; Governance
Indicators for 1996, 1998, 2000 and 2002,” World Bank Economic Review. Vol
18.
Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta :
Elekmedia Komputindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar