Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Sabtu, 23 Juni 2012

KONSEP DAN IDE DESENTRALISASI DI INDONESIA (Berdasarkan Perbedaan Desentralisasi, Dekosentrasi dan Devolusi)


KONSEP DAN IDE DESENTRALISASI DI INDONESIA
(Berdasarkan Perbedaan Desentralisasi, Dekosentrasi dan Devolusi)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal.  Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal. Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya  bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Diasumsikan bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, 1999).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan (einheidsstaat). Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu conditio sine qua non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara bertanggungjawab menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah yang telah berkembang menjadi wacana publik di berbagai lapisan masyarakat umum akhir-akhir ini mengalami “bias” baik dalam tataran teoritik maupun tataran praktik. Salah satu bias yang paling mencolok adalah adanya pengertian bahwa otonomi daerah semata-mata adalah persoalan mewujudkan kemandirian daerah (kabupaten dan kota) baik dalam mengelola uang (money) maupun urusan (business)-nya sendiri. Dengan kecenderungan tersebut maka fokus perhatian kabupaten dan kota hanya kepada seberapa besar dana, sumber dana, dan urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada kabupaten dan kota.
Dengan memperhatikan fenomena diatas maka dalam konteks kepentingan kabupaten dan kota pengertian otonomi daerah perlu diletakkan dalam kerangka dan substansi yang proporsional, yaitu bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada gilirannya harus mampu memberikan pelayanan publik yang optimal kepada seluruh masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Isu tentang otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari isu desentralisasi karena pemberian otonomi kepada daerah bersumber dari kebijakan desentralisasi. Tulisan ini bermaksud membahas konsep dan isu desentralisasi serta manifestasinya dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia.


BAB II
PERMASALAHAN

Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis. Terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakan pandangan ini terhadap desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital. Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.
Maka penulis akan mencoba menguraikan beberapa masalah yang ada yaitu :
1.      Apakah perbedaan Desentralisasi dengan Dekosentrasi dan Devolusi?
2.      Bagaiamanakah konsep dan aplikasi desentralisasi?
3.      Apa saja permasalahan dari Desentralisasi?

BAB III
PEMBAHASAN

Antara Desentralisasi, Dekosentrasi, Devolusi dan istilah lainnya
Setiap negara, apapun bentuk negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut Dr. Pratikn (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah ini menurut Litvack & Seddon (1999 :2) di namakan juga dengan ”desentralisasi”
“Decentralization is the transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independece government or organization, or the private sector”
Rondinelli (1981)mengartikan desentralisasi sebagai “transfer of political power”. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi.
Istilah dekonsentrasi  ini dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis, maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an.
Istilah Devolusi ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat sub-nasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari pendapatan dan membelanjakannya.
Istilah Delegasi ini merupakan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi–organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.
Dan sementara privatisasi ini merupakan  pemindahan tugas-tugas dan pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara yang sedang berkembang telah lamah bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan pelayanan publik. Karena seringnya pemerintah tidak dapat menanggung biaya pengembangan maka dicarilah alternatif-alternatif pembiayaan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan publik.
            Pendapat lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh Carolie Bryant dan Louise G White. Desentralisasi diartikannya sebagai transfer kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik. Desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat daerah, sedangkan desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan daerah.
            Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada pemerintah lokal adalah akan memberdayakan kemampuan daerah (empowerment local capasity). Apabila pemerintahan daerah diserahi tanggung jawab terhadap sumber daya, maka kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah daerah hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan pusat maka partisipasi para elit daerah dan warganya akan rendah. Akibatnya, daya kreativitas, dan inovasi masyarakat menjadi lemah dan tidak berkembang serta tingkat ketergantungan masyarakat dan pemerintahan daerah kepada pusatnya semakin tinggi.
Menurut Rondinelli, harus dibedakan antara desentralisasi fungsi dan desentralisasi geografis. Pembedaan ini dalam organisasi sistem pelayanan kesehatan misalnya, sangat relevan. Dalam desentralisasi fungsional, badan yang berwenang dalam menjalankan fungsi tertentu misalnya pelayanan kesehatan  diubah ke kantor daerah yang khusus. Dalam desentralisasi wilayah, tanggung jawab luas dalam pelayanan masyarakat dipindah ke-organisasi-organisasi daerah yang telah mempunyai wilayah kerja yang jelas. Organisasi pelayanan kesehatan dapat didesentralisasi dalam dua cara tersebut, tetapi departemen- departemen mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi derajat desentralisasi fungsional dibanding dengan desentralisasi wilayah, dimana sektor kesehatan hanya merupakan salah satu pelayanan pemerintah yang didesentralisasi.
Menurut Yves Meny (1995 : 335), desentralisasi ini bisa terdapat dalam bentuk rezim pemerintahan apapun, baik monarki atau republik, sistem federal maupun non-federal. Desentralisasi dapat dibandingkan dengan sistem federalisme (khususnya seperti yang terdapat di Eropa), devolusi (di Inggris), regionalisasi (di Belgia, Italia dan Perancis) dan dekonsentrasi (alat kelengkapan kekuasaan kepada perwakilan lokal dari pemerintah pusat).
“desentralization can take place ini any form of regime : monarchy or republic, federal or non federal system”. It has been contrasted with federalism (especially in europe),  devolution (in Britain), regionalization (in Belgium, Italy, and France), and deconcentration (the attribution of power to local representatives of central government)”.
Dari sudut pandang klasik, desentralisasi biasanya diidentikkan dengan masyarakat lokal, tapi desentralisasi secara aktual merupakan salah satu bentuk organisasional yang dapat digunakan pada tingkatan (level) pemerintahan apapun (seperti masyarakat, kota, propinsi, atau kabupaten).
“the classical view identified decentralization with the local community, but it is actually an organizational form that can be used at any local of government (such as community, county, province, or region)”
Sementara itu, pengertian desentralisasi menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, apakah tujuan desentralisasi itu? Menurut Prof. Dr. Sadu Wasistiono (2005 : 61), terdapat 2 tujuan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik dari desentralisasi adalah dalam rangka mewujudkan demokratisasi, sedangkan tujuan administratifnya adalah dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa desentralisasi pada dasarnya merupakan proses demokratisasi pemerintahan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan lokal (local government) dalam mengurus rumah tangga daerahnya untuk mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
Prof Dr. Riswandha Imawan (2005 : 39) mengatakan bahwa “desentralisasi merupakan konsekwensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan pelaksanaan dari keputusan itu didesentralisasikan menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi. Bahkan secara tegas dinyatakan oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA (2007 : 17-18) bahwa “Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Hal ini berarti ”Tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa desentralisasi”
Menurut Sutoro Eko (2003 : 2), keterkaitan antara desentralisasi dan demokratisasi kemudian melahirkan konsep desentralisasi demokratis atau model Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat (ODBM). Selanjutnya dikatakan oleh Sutoro Eko bahwa :
Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi berbasis kepada partisipasi masyarakat. Semuanya berasal dari masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat, yaitu otonomi daerah yang dibangun dari partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab oleh masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif untuk masyarakat”
            Konsep ODBM identik dengan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralization), yaitu bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Menurut Camille Barnett, dkk (1997) yang dikutip oleh Sutoro Eko, desentralisasi demokratis hendak mengelola kekuasan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses demokrasi pada level pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar (ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan.

Desentralisasi: Konsep dan Aplikasinya Dalam Penyelenggaraan Manajemen Pemerintahan di Indonesia
Dalam negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin ada daerah yang bersifat “staat”. Konsekuensinya adalah timbul hubungan hukum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya di negara berkembang, sangat tergantung pada sistem yang digunakan dalam pengaturan hubungan tersebut. Secara teoritis, ada dua model sistem yang dapat digunakan, yakni model sistem sentralisasi dan model sistem desentralisasi. Kedua sistem tersebut hanyalah terbatas sebagai model, sebab secara empirik di seluruh dunia dewasa ini tidak ada satu negara yang secara ekstrim pemerintahannya bersifat sentralisasi, sebaliknya juga tidak ada yang sepenuhnya bersifat desentralisasi (Muchsan, 1999).
Dalam sistem sentralisasi semua kewenangan ada pada pemerintah pusat, yang berarti semua daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi terjadi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Daerah yang mendapat  kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut daerah otonom.
Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itu sendiri didalam ilmu administrasi publik merupakan sebuah pendekatan dan teknik manajemen yang berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dan tanggung jawab (delegation of authority and responsibility) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut perubahan hubungan kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsep desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Siedentopf (1987), desentralisasi adalah suatu istilah yang memiliki pengertian atau konotasi yang berbeda bagi masyarakat yang berbeda atau bagi masyarakat yang sama dalam situasi atau konteks yang berbeda. Menurut Bird dan Vaillancort (2000), ada tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah. Beberapa ahli lainnya seperti Siedentopf (1987), Davey (1983), Ichlasul Amal dan Nasikun (1989), dan Mills (1991) juga menggunakan istilah desentraliasi untuk pengertian yang luas.  Menurut mereka istilah desentralisasi mencakup baik desentralisasi  administratif maupun desentralisasi politik.
Desentralisasi administratif atau sering disebut dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian kekuasaan administratif kepada pejabat-pejabat birokrasi atau aparat pemerintah pusat yang ditempatkan di lapangan (wilayah). Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik untuk membuat keputusan atau kebijakan publik. Yang mereka miliki hanya kewenangan administratif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Pejabat-pejabat di lapangan (field administrator) hanya bekerja atas dasar rencana dan anggaran yang sudah ditentukan oleh pusat. Dalam dekonsentrasi berarti redistribusi tanggung jawab administratif hanya diantara badan-badan perwakilan atau agen-agen pemerintah pusat. Karena dekonsentrasi hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politik, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang lemah.
Desentralisasi politik atau devolusi berarti pendelegasian sebagian wewenang dan tanggung jawab membuat keputusan dan pengendalian atas sumber-sumber daya kepada instansi pemerintah regional yang memiliki lembaga perwakilan dan memiliki kekuasaan pemerintahan. Devolusi mempunyai karakteristik dasar tertentu sebagai berikut :             (1). Pemerintah setempat (lokal) bersifat otonom dan secara jelas merasa sebagai tingkatan yang terpisah dimana penggunaan kewenangan pusat kurang atau tidak langsung, (2). Pemerintah setempat memiliki batas yang jelas dan diakui secara sah dimana mereka memiliki kekuasaan dan menyelenggaran fungsi-fungsi publik, (3). Pemerintah setempat berkedudukan sebagai badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk menjamin sumber daya untuk menyelenggarakan fungsinya, (4). Devolusi mengandung pengertian bahwa pemerintah setempat adalah institusi yang menyediakan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah setempat, (5). Didalam devolusi terdapat hubungan timbal balik, saling menguntungkan dan koordinatif antara pemerintah pusat dan pemerintah setempat (Siedentopf, 1987).
Dengan demikian menurut pandangan ini desentralisasi mencakup pemerintahan wilayah administratif dan pemerintahan daerah otonom. Dalam pemerintahan wilayah administratif ditandai dengan  adanya aparat  dan pejabat-pejabat birokrasi pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah sebagai field administrator. Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik. Yang mereka miliki hanyalah kewenangan administratif guna melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Dalam pemerintahan daerah otonom ciri utamanya adalah memiliki lembaga perwakilan yang pada umumnya didasarkan atas pemilihan dan memiliki kekuasaan pemerintahan tingkat daerah (lembaga eksekutif). Lembaga-lembaga tersebut memiliki  kewenangan politik untuk membuat kebijakan publik.
Seberapa jauh desentralisasi dapat dinilai dengan jelas, sebagian tergantung pada apakah yang sudah dilakukan lebih bersifat dekonsentrasi, delegasi, atau devolusi. Hal ini juga tergantung apakah seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up) (Bird dalam Bird dan Vaillancort, 2000). Pendekatan desentralisasi dari bawah ke atas (bottom up) umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal, dan efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Literatur ilmu politik  sarat dengan alinea-alinea yang mengangkat manfaat dan kebaikan-kebaikan desentralisasi. Desentralisasi tidak hanya menghasilkan pengadaan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal, tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Hasilnya, dukungan yang lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki stabilitas politik. Bila kebaikan-kebaikan dan manfaat ini ditambah dengan sisi manfaat yang lain, seperti peningkatan mobilisasi sumber-sumber dan pengenduran tekanan atas keuangan pusat, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan ketanggapan serta tanggung jawab pemerintah secara umum, tidak mengherankan banyak orang menganggap desentralisasi merupakan sesuatu yang demikian berharga. Lain halnya bila desentralisasi dilihat prosesnya dari atas ke bawah (top down). Dari atas ke bawah, dasar pemikiran desentralisasi misalnya meringankan beban pusat dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke bawah, meningkatkan efisiensi manajemen pembangunan, dan  meningkatkan kesejahteraan nasional. Apapun dasar pemikirannya, pendekatan top down menekankan bahwa kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik desentralisasi dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional (Bird dan Vaillancort, 2000).
Mills (1991) mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai tujuan filosofis dan ideologis dan tujuan pragmatis. Secara filosofis  dan ideologis, desentralisasi dianggap sebagai tujuan politik yang penting, karena memberikan kesempatan munculnya partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah, dan untuk menjamin kecermatan pejabat-pejabat pemerintah terhadap masyarakatnya. Dalam tingkat pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan institusional, fisik dan administratif  dalam pembangunan.  Sebagai contoh, meningkatnya kontrol daerah dapat menghasilkan respon yang lebih baik akan kebutuhan masyarakat, meningkatkan pengelolaan sumber daya dan logistik, dan meningkatkan motivasi pejabat-pejabat lokal.  Dengan demikian desentralisasi dapat mendukung dan memacu pelaksanaan pembangunan. Desentralisasi juga dilihat sebagai suatu cara untuk mengalihkan beberapa tanggung jawab pembangunan dari pusat ke  daerah. Dalam suatu negara yang mempunyai keanekaragaman daerah, terkadang timbul pertentangan antar berbagai kelompok penduduk, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk memberi otonomi yang lebih besar tanpa meninggalkan kesatuan nasional.
Berbeda dengan pandangan para ahli dimuka, pengertian yang dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang pernah berlaku (UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999) dan yang sekarang berlaku di Indonesia (UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2005) memandang desentralisasi hanya mencakup devolusi atau desentralisasi politik saja. Sedangkan desentralisasi administratif (dekonsentrasi) berada dalam posisi yang berbeda dan tidak bermakna desentralisasi. Dekonsentrasi tidak lain merupakan sharing kekuasaan diantara para pejabat atau aparat pemerintah pusat yang hanya berbeda dalam tempat tugas saja. Pihak yang mendelegasikan kekuasaannya bertugas di pusat pemerintahan sedangkan yang menerima kekuasaan yang didelegasikan tersebut bertugas di daerah.
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang akan merupakan tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur, diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom. Dengan demikian, otonomi daerah adalah bersumber dari desentralisasi tetapi desentralisasi tidaklah selalu mengacu pada otonomi. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi adalah ”the legal self sufficiency of social body and its actual independence”. Jadi ada dua ciri hakekat otonomi yaitu “legal self sufficiency” dan “actual independence”. Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, menurut Encyclopedia Britanica, otonomi adalah “self government the condition of living under one’s own laws”. Dengan demikian otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memeperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu daerah terdapat perbedaan interpretasi dari satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari faktor-faktor yang dijadikan tolok ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
Tinjauan teoritis: pandangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah.
Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Walaupun demikian, desentralisasi bukan  merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar.
Suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan pula merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. Karenanya suatu negara bangsa merupakan genus dari species desentralisasi dan sentralisasi. Akan tetapi, pengertian desentralisasi tersebut sering dikacaukan (interchangeably) dengan istilah - istilah lainnya, seperti decenralization, devolution, deconcentration, desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (adminisrative decentralization), desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie), desentralisasi fungsional, otonomi dan medebewind, dan sebagainya. Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi telah banyak dikemukakan oleh para penulis yang sudah barang tentu pada umumnya didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.
Walaupun begitu, beberapa batasan perlu diajukan sebagai bahan  perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi dari politik desentralisasi. Salah satu batasan tentang desentralisasi yang sering dibahas adalah:  “decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or  by  devolution to local authorities or local bodies”
Batasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penyerahan wewenang dari pusat kepada organ di daerah melalui dua cara, yaitu melalui deconcentration atau devolution. Kalau deconcentration melalui delegasi kekuasaan kepada pejabat - pejabatnya di daerah, sedangkan devolution kepada badan - badan politik di daerah yang disebut pemerintah daerah. Disini, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan tersebut serta konsekuensi-konsekuensi apa penyerahan itu bagi organ - organ di daerah, karena itu adalah kompetensinya politik desentralisasi. Batasan itu lebih memfokuskan kepada bentuk - bentuk atau macam - macam decentralization. There are two principal forms of decentralization of governmental powers and functions are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and local authorities. Yang dimaksud dengan area offices of administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di luar kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima penyerahan penuh kekuasaan (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat (the arrangement is administrative in nature and implies no transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues). Jadi, hal ini berbeda dengan devolution, dimana sebagian kekuasaan yang diserahkan kepada badan politik di daerah itu merupakan kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara politik maupun administrasi. Sifatnya adalah penyerahan nyata berupa fungsi dan kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Dengan demikian bentuk devolution merupakan type of arrangement having a political as well as an administrative character.
Dalam kenyatannya memang ada dua bentuk decentralization, yaitu yang bersifat administatif (administative decentralization) dan yang bersifat politik (political decentralization). Desentralisasi administratif adalah suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut  bekerja dalam batas - batas rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan, namun juga memiliki keleluasaan, kewenangan dan tanggung jawab tertentu dalam mengembangkan kebijaksanaan pemberian jasa dan pelayanan di tingkat lokal. Kewenangan itu bervariasi, mulai dari penetapan peraturan-peraturan yang sifatnya pro - forma sampai kepada keputusan - keputusan yang lebih substansial. Sedangkan desentralisasi politik, yaitu wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber - sumber daya yang diberikan kepada badan - badan pemerintah regional dan lokal.
Pengertian ini lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan - badan otonom daerah yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Yang perlu menjadi perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara politik maupun administrasi  merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal, dimana kekuasaan dan pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal semata - mata hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan nasional, maka para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil saja di dalamnya. Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan untuk meningkatkan kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan sendirinya akan menyusut. Pemerintah Pusat malah mungkin memperoleh respek dan kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumber daya kepada unit lokal, dan dengan demikian akan meningkatkan pengaruh serta legitimasinya.
Dengan demikian, Konsep desentralisasi yang menekankan kepada salah satu cara untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat didjadikan titik tolak pemikiran dalam rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di Indonesia, terutama untuk mempengaruhi elit birokrasi dan pengambil keputusan di pusat yang nampaknya belum sepenuh hati rela menyerahkan berbagai kewenangan dan sumber daya kepada daerah, karena kekhawatiran timbulnya disintegrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang sesungguhnya hal itu dikarenakan “konflik kepentingan”  antara individu-individu di Pusat dan Daerah. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa pemberian otonomi kepada daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya harus diwaspadai, saya justru berpendapat sebaliknya, bahwa hak - hak dan kewenangan otonomi daerah yang ditahan - tahan, jutru akan menimbulkan “disintegrasi”, resistensi dan pembangkangan daerah terhadap pusat, bahkan kebanyakan orang sekarang mempersoalkan kapan dan bagaimana peletakkan otonomi pada daerah tingkat lokal itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan kekhawatiran disintegrasi.
Sejalan dengan pendapat Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan konsep decentralization dengan memberikan batasan sebagai berfikut:
“the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local adminisrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or non -governmental organizations.”
Dengan batasan ini, Rondinelli membedakan 4 (empat) bentuk decentralization, yaitu: deconcentration; delegation to semi - autonomous and parastatal agencies; devolution to local government; and non - governmental institutions. Dengan demikian, keempat bentuk decentralization ini merupakan species dari genus decentralization.
Menurutnya, decentralization dalam bentuk deconcentration, sebagai bentuk pertama, pada hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Pendapat ini tidak berbeda dengan pendapat Bryant. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of workload from a central government ministry or agency headquarters to its own field staff located in offices outside of the national capital without transferring  to them the authority to make decisions or to exercise discretion in carrying them out. Oleh karena itu, kalau suatu sistem pemerintah daerah yang kebijakannya lebih mengutamakan deconcentration daripada devolution, maka sudah bisa dibayangkan tidak akan mendorong kepada pemberdayaan masyarakat lokal, karena dalam deconcentration semua keputusan sudah ditetapkan, baik di pusat maupun di daerah tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal.
Bentuk yang kedua tidak akan saya bahas, saya akan lebih memfokuskan kepada bentuk yang ketiga yang ada relevansinya atau setidaknya sebagai perbandingan dengan kebijakan desentralisasi di Indonesia, meskipun harus tetap disesuaikan dengan prinsip - prinsip pembagian kewenangan dan prinsip - prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Bentuk ketiga dari decentralization yang lebih relevan dengan perkembangan politik dan pemerintahan di Indonesia adalah devolution to local government. Konsekuensi dari devolution ini, Pemerintah pusat membentuk unit - unit atau badan - badan pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara  independen (mandiri).
Ada beberapa karakteristik bentuk devolution sebagai berikut:
Pertama, unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri (independent) dan secara tegas terpisah dari tingkat - tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya;
Kedua, unit pemerintahaan tersebut diakui mempunyai batas - batas wilayah yang jelas dan legal, dan mempunyai wewenang untuk melakukan tugas - tugas umum pemerintahan;
Ketiga, unit pemerintahan daerah tersebut berstatus sebagai badan hukum dan berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber - sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugas - tugas umum pemerintahan;
Keempat, unit pemerintahan daerah tersebut diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya (credibility; vertrauwen);
Kelima, terdapat hubungan kesetaraan dan saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit - unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Dengan memperhatikan ciri - ciri karakteristik tersebut, nampaknya ada beberapa hal kemiripan kebijakan desentralisasi yang sedang dilancarkan di Indonesia, terutama dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam beberapa hal masih terdapat perbedaan, misalnya kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya nasional, bagi daerah di Indonesia masih sangat terbatas. Kalau kita bandingkan dengan sistem di Indonesia, ciri - ciri Kesatu  dan Ketiga, boleh dikatakan mirip dengan Indonesia, namun ciri yang Keempat adalah justru menjadi “tantangan” bagi pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya, oleh karena kita masih melihat bahwa segala keinginan atau tuntutan masyarakat seringkali tidak diajukan kepada pemerintah daerah setempat, melainkan langsung ke Pusat karena kurangnya “keterpercayaan” terhadap pemerintah daerah setempat yang dipandangnya tidak bakalan  dapat menyelesaikan permasalahan  di daerah. Sedangkan ciri yang Kelima, justru kita tidak memiliki kesetaraan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, karena prinsip  desentralisasi yang dianut dalam NKRI, bahwa kedudukan pemerintah daerah adalah “tergantung” (dependent) dan karenanya Pemerintah Daerah berada “dibawah” (subordinated) Pemerintah Pusat, sehingga prinsip ini tidak sejalan dengan prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI. 
Konsep decentralization ini didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin besar untuk memberikan keleluasaan decentralization dalam kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan dan administrasi yang pada tahun 1970-an, disebut sebagai the second wave of decentralization, dengan  didorong oleh tiga hal kekuatan sebagai berikut:
Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang berjalan sekitar tahun 1950 dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya dikembangkan cara - cara baru dalam mengelola program dan proyek serta administrasi pembangunan yang meliputi strategi pertumbuhan dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat kenyataan kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin meluas, sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.
Dari  berbagai batasan dan pengertian  yang dikemukakan diatas,  ternyata decentralization tidak berdiri sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan mempunyai species yang bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas mengatakan bahwa decentralization adalah devolution of power from central to local governments. Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the ransfer of administrative responsibility from central to local government. Dengan demikian, Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species devolution dan deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan deconcentration.
Kalau kita bandingkan dengan versi kontinental, pada prinsipnya sama mendudukan decentralization sebagai genus dengan species yang bermacam-macam, hanya dengan istilah yang berbeda. Menurut versi kontinental, desentralisasi digolongkan menjadi dua, yaitu ambtelijke decentralisatie dan staatskundige decentralisatie yang dibagi lagi menjadi territoriale decentralisatie  dan functionele decentralisatie. Yang dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata - mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige decentralisatie merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara, sehingga dengan demikian, decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa pengertian  decentralisatie sebagai “staatskundige decentralisatie” (desentralisasi ketatanegaraan) merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah - daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama, dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak diikut sertakan; Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke decentralisatie) adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah - daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik atau ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan berbagai saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) ini dibagi lagi menjadi dua macam: a) desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing - masing (otonom); b) desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie), yaitu pelimpahan  kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan - kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala  sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut. Kedua pandangan ini membagi desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) menjadi dua macam, yaitu: otonomi (autonomie) dan medebewind atau zelfbestuur. Otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti perundangan (wetgeving), juga berarti pemerintahan (bestuur). Seperti dikatakan C.W. van der Pot bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen vermoeden-regeling en  bestuur van eigen zaken, van het de Grondwet noemt, eigen huishouding. Hal ini berbeda dengan pendapat J.J. Schrieke yang mengatakan bahwa autonomie adalah eigen meesterschap, zelfstandigheid,  dan bukan onafhankelijkheid.
Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan/ pengaturan dan pemerintahan kepada badan - badan otonom, seperti propinsi, kotamadya dan  seterusnya, badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan Undang - Undang dasar atau perundang - undangan lainnya yang tingkatnya lebih tinggi, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan demikian, adalah kurang tepat kalau dikatakan bahwa otonomi dan medebewind  (tugas pembantuan) sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah “misleading” dan dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif akademik, maupun dari tataran operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, otonomi itu merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang diberikan (“toekennen”) oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.
Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan pemerintah pusat atau rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut. Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil - wakil dari yang diperintah. Di Belanda medebewind  atau zelfbestuur diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah - daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih bawah. Dalam menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuan. Akan tetapi, bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan bantuan itu, dalam melakukan bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah dari dan tidak pula dapat diminta pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah yang lebih tinggi. Selanjutnya dikatakan, bahwa “Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan kewajibannya.”
Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu, disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang ditugaskan ada hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru, karena kalau itu rumusannya berarti “dekonsentrasi”  bukan tugas pembantuan, karena dalam konsep itu pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, semuanya disediakan oleh pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas pembantuan yang perlu disediakan oleh pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan, sedangkan peralatan dan personil justru merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam upaya membantu pelaksanaan tugas tertentu dari pemerintah pusat atau pem erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan menyimak berbagai batasan dan pengertian desentralisasi seperti diuraikan diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena kecendurungan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka dilancarkan ide desentralisasi dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti ditegaskan dalam tulisan Syarif Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat dikatakan bahwa lahirnya ide desentralisasi merupakan sebuah “anti - thesa” dari sentralisasi. Padahal, seperti telah disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu negara bangsa (nation state). Dengan perkataan lain, walaupun suatu negara bangsa menganut asas desentralisasi, namun tidak semua urusan kewenangan diserahkan kepada daerah otonom, melainkan ada bagian - bagian urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral (terpusat). Karenanya, menurut pandangan saya suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. Karenanya pula, suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan speciesnya. Masalahnya, bagaimana mencari keseimbangan diantara species tersebut.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat upaya yang terus-menerus mencari “titik - keseimbangan” yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan sentralisasi. Terjadi pergeseran antara “dua kutub nilai”, yaitu “nilai pembangunan bangsa dan integritas nasional” disatu pihak yang menekankan pentingnya “sentralisasi”, sehingga akan mewujudkan nilai dan bentuk “sentripetal”, dan dilain pihak menekankan “nilai desentralisasi dan otonomi daerah” yang akan melahirkan nilai dan bentuk “sentrifugal”, dan pergeseran kedua nilai ini terus - menerus menjadi dilema. Respons juridis - formal terhadap dilemma ini bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi - politik pada suatu waktu                       


BAB IV
PENUTUP

Dari perspektif administrasi publik sentralisasi dan/ atau desentralisasi adalah merupakan teknik manajemen. Efektivitasnya untuk mengatur dan mengatasi permasalahan pada tataran empirik sangat tergantung pada ketepatan penerapannya. Penerapan model desentralisasi dalam pengaturan pemerintahan di Indonesia menjadi sumber adanya otonomi daerah. Salah satu filosofi dari otonomi daerah adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan satu kesatuan, walaupun memiliki tugas yang berbeda. Disamping itu dalam sistem pemerintahan negara kesatuan tidak akan mungkin terdapat baik otonomi penuh pada tingkat daerah maupun sentralisasi penuh  melalui pengaturan pemerintah pusat. Otonomi daerah semestinya dapat membuat masyarakat meningkat kesejahteraannya. Hal itu tidak berlebihan karena dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dapat lebih sensitif terhadap persoalan yang ada di daerahnya. Namun demikian profesionalitas para penyelenggara pemerintahan merupakan salah satu variabel yang tidak bisa dinihilkan pengaruhnya terhadap efektivitas otonomi daerah. Apabila otonomi daerah dijadikan lahan basah bagi elit daerah untuk kepentingan diri dan kelompoknya maka cita-cita menyejahterakan masyarakat melalui otonomi daerah akan bertepuk sebelah tangan dan bagaikan api yang jauh dari panggang.

Daftar Pustaka

Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid. 1999. “Otonomi dan Federalisme” dalam St. Sularto dan T Jakob Koekerits (penyunting). Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta : Kompas.
Baharuddin Tjenreng, 1990. “Masalah Hak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangga Sendiri Dalam Otonomi Daerah Bertingkat” dalam  Kumpulan Makalah Seminar Terbatas Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Balitbang Depdagri.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois. 2000. “Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang : Tinjuan Umum” dalam  Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois (penyunting). Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Terjemahan PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Davey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminullah dkk. Jakarta : UI Press.
Herman Haeruman. 1999. Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Berbagai Perspektif. Makalah Seminar Nasional “ Otonomi Daerah Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999, Yogyakarta : FE UPN Veteran.
Ichlasul Amal dan Nasikun. 1990. “Desentralisasi dan Prospeknya : Pelajaran dari PPW” dalam Pengalaman PPW dan Strategi Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Yogyakarta : P3PK UGM.
Mills, Anne. 1991.  “Isu dan Konsep Desentralisasi”, dalam Anne Mills dkk. (editor). Desentralisasi Sistem Pelayananan Kesehatan, terjemahan Laksono Trisnantoro. Yogyakarta : Gadjah Mada Press.
Muchsan. 1999. Kajian Yuridis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Yang Seluas-luasnya. Makalah Seminar Nasional “ Otonomi Daerah Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999, Yogyakarta : FE UPN Veteran.
Siedentopf, Heinrich. 1987. “Decentralization for Rural Development : Government Approaches and People’s Initiatives in Asia and the Pacific”. Building from Below Local Initiatives for Decentralized Development in Asia and Pacific. Vol. 1. Kuala Lumpur : Asian and Pacific Development Centre.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi undang-Undang.