Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. ( Confusius )

Entri Populer

Selasa, 15 November 2011

MENUJU MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL


MENUJU MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Jary dan Jary 1991; Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut (Reed 1997).
Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi: ‘kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah’. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin terwujud bila (1) konsep multikulturalisme menyebarluas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep multikulturalisme dan persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu ada lebih banyak tulisan oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multi- kulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multi- kulturalisme akan—harus mau tidak mau—mengulas pula berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Pemahaman tentang multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus disamakan, atau tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut, dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan
Cita-cita reformasi yang nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya sebaiknya digulirkan kembali. Secara model, alat penggulir bagi proses-proses reformasi dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yakni dengan mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk, dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat berdasarkan ideologi multikulturalisme, atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap berikutnya adalah  mengisi struktur-struktur, atau pranata-pranata, dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat pada tingkat local, atau pada tingkat nasional serta berbagai corak dinamikanya.

GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA


GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA
(Unjuk Rasa, Gerakan Massa dan Demokrasi)

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Kita mulai dari apa yang disebut dengan gerakan kemerdekaan Indonesia. Jelas  bahwa ini merupakan gerakan pembebasan dari kolonialisme. Gerakan ini dimulai  dengan berkembangnya bentuk perlawanan yang mengarah pada tindakan diplomasi.  Bukan gerakan bersenjata dari fragmentasi gerakan yang ada sebelum ada Indonesia.  Dalam hal ini jelas gerakan ini merupakan gerakan melawan penjajahan, dengan tujuan  yang cukup rasional dan jelas dapat dilihat secara konkrit. Namun demikian dalam kerangka untuk melawan kolonialisasi tersebut, dalam  perjalanan panjang selama 350 tahun muncul sebuah imaginasi, sebuah anggapan  irasional untuk keluar dari kesulitan. Dalam banyak hal, kemudian impian untuk  menggapai kebebasan itu dibayangkan ada sebuah tokoh yang akan memimpin, akan  membebasakan dari tindak ketidakadilan. Tokoh ini dalam banyak wacana, disebut  dengan Ratu Adil.
Meski dalam babakan berikutnya, termaktiub ada gerakan ratu adil. Apa yang disebut  gerakan ratu adil ini merupakan sebuah alasan yang irasional. Dak mamupuan dalam  melakukan peorganisasi untuk melawan ketidak adilan itu diwujudkan dalam bentuk  legenda, seorang tokoh. Bahkan menjelang runtuhnya rezim Soeharto, juga  didengungkan seorang tokoh yang nantinya akan memimpin bangsa ini untuk melawan  penindasan. Dalam wacana ini, cukup banyak tokoh yang digadang akan menjadi Ratu Adil, sebut saja Tri Sutrisno bahkan Megawati juga.   Namun dalam wacana gerakan sosial yang irasional, bergeraklah sebuah alasan  yang rasional untuk melakukan gerakan sosial.

Masalah Sosial sebagai Peletup Gerakan Sosial
Coba kita lihat apakah dalam kasanah Indonesia  kontemporer akan muncul gerakan sosial yang masuk dalam karakteristik tertentu. Bila  dilihat gelaja yang ada, maka karakter periode kedua dan ketiga kemungkinan akan  muncul dan menguat.   Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak memberikan rasa keadilan akan mendorong munculnya kelompok interes yang pada akhirnya akan mampu melakukan pengorganisasian (penggalangan) kelompok warga yang merasa tidak diberi keadilan. Dengan alasan yang cukup kuat dan rasional dalam tataran pandang warga maka terbentuknya suatu organisasi yang matang untuk melawan dapat dengan mudah dilaksanakan. Misalnya misalnya embrio gerakan melawan kenaikan harga listrik, kenaikan harga BBM, dll. Namun demikian, kita juga bisa melihat bahwa gerakan yang mencerminkan pola dekonstruksi. Di sini, saya tidak akan membawa masuk dalam kajian yang lebih teoritis. Karena cara pandang seperti di atas cenderung melihat suatu keadaan secara ideal. Tetapi pada dasarnya di masyarakt berkembang dengan ragam yang cukup banyak. Misalnya (dalam versi resmi pemerintah) di Poso tentang kelompok pengikut tokoh dengan penyimpangan terhadap ajaran agama tertentu misalnya. Atau terjadi  juga dekonstruksi atas cara pandan terhadap ajaran tertentu yang dianggap menyimpang. Dalam hal ini nampaknya jelas bahwa ada persoalan vis a vis antara golongan dan negara (pemerintah) yang tidak mampu memberikan ruang terbukan untuk perbedaan.

Pentingnya Gerakan Sosial sebagai Gerakan Perubahan Sosial
Implikasi dari gerakan sosial cukup beraneka ragam bentuk. Tetapi pada dasarnya adalah mendorong adanya sebuah perubahan sosial. Gerak sosial ini berjalan dengan rentang waktu yang cukup lama. Tidak akan bergerak begitu saja dan spontan. Dengan demikian unsur yang penting dalam mengelola sebgau gerakan sosial adalah bertahannya sebuah isu yang diyakini merupakan musuh bersama, kuatnya sebuah organisasi yang mengusung isu tersebut dan tentu saja adalah kuatnya logistik untuk menghidupkan organisasi. Dengan demikian jelas bahwa gerakan sosial yang berkembang saat ini tidak akan mampu bertahan lama apabila tidak mengakar pada anggota organisasinya. Jadi isu yang terus menerus menjadi kepenting bersama dapat menguatkan organisasi dan mendorong sebuah pergerakan yang merubah. Banyak contoh yang telah dikemukakan.
Namun demikian perlu diingat bahwa ada 2 kecenderungan yang akan muncul yaitu tema-tema yang menentang HAM dan tema-tema yang mengedepankan ineteres tertentu seperti fundamentalisme atau radikalisme sempit yang merupakan dekonstruksi dari sebuah keyakinan yang dianggap dapat dikembangkan kembali pada budaya yang berbeda. Dalam kerangka politik lokal, gerakan sosial akan sangat sulit muncul  apabila kesadaran warga masyarakat akan hak-haknya tidak pernah dianggap. Artinya  gerakan sosial akan lahir apabila ada kepentingan bersama yang diganggu. Lalu pertanyaannya apakah dalam tingkat lokal, seperti ranah kabupaten akan muncul gerakan sosial, sekalipun dengan prawacana seperti ratu adil. Ataupun suatu sekte tertentu yang mengajak sekelompok warga melakukan tindakan yang diluar kebiasaan.

FILSAFAT KOMUNITARIANISME


FILSAFAT KOMUNITARIANISME

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Komunitarianisme

Komunitarianisme sebagai sebuah kelompok yang terkait, namun berbeda filsafatnya, mulai muncul pada akhir abad ke-20, menentang aspek-aspek dari liberalisme, kapitalisme dan sosialisme sementara menganjurkan fenomena seperti masyarakat sipil. Komunitarianisme tidak dengan sendirinya memushi liberalisme in dalam pengertian katanya di Amerika saat ini, namun penekanannya berbeda. Paham ini mengalihkan pusat perhatian kepada komunitas dan masyarakat serta menjauhi individu. Masalah prioritas, entah pada individu atau komunitas seringkali dampaknya paling terasa dalam masalah-masalah etis yang paling mendesak, seperti misalnya pemeliharaan kesehatan, aborsi, multikulturalisme, dan hasutan.
Para filsuf komunitarian terutama prihatin dengan masalah-masalah ontologis dan epistemologis, jadi berbeda dengan masalah-masalah kebijakan. Tanggapan komunitarian terhadap buku John Rawls, A Theory of Justice mencerminkan ketidakpuasan terhadap citra yang disajikan Rawls tentang manusia sebagai individu yang atomistik. Meskipun Rawls memungkinkan ruang untuk belas kasih (benevolence), misalnya, ia memandanganya semata-mata sebagai salah satu dari banyak nilai yang ada di dalam kepala seseorang. Kaum komunitarian mengklaim nilai-nilai dan keyakinan yang ada di ranah publik, di mana perdebatan berlangsung. mereka mengatakanb Paulus menjadi seorang individu berarti mengambil sikap dalam masalah-masalah yang beredar di ranah publik. Misalnya, di Amerika Serikat perdebatan tentang politik senjata api, ada sejumlah sikap yang harus diambil, namun semua sikap ini pertama-tama mempradugakan keberadaan suatu perdebatan politik senjata api; ini adalah suatu pengertian di mana komunitas ada sebelum individualisme. Demikian pula, baik tradisi-tradisi linguistik maupun non-linguistik dikomunikasikan kepada anak-anak dan menjadi latar belakang bagi perumusan dan pemahaman keyakinan individu.
Ketergantungan individu terhadap anggota-anggota komunitas biasanya dimaksudkan bersifat deskriptif. Ini tidak berarti bahwa individu harus menerima keyakinan-keyakinan mayoritas, seperti misalnya keyakinan historis bahwa perbudakan dapat diterima, ia harus melakukannya dengan alasan-alasan yang masuk akal di dalam komunitas yang bersangkutan (misalnya, alasan-alasan keagamaan Kristen, alasan-alasan yang berasal dari konsepsi Pencerahan tentang hak-hak asasi manusia) dan bukan semata-mata alasan lama manapun. Dalam pengertian ini, penolakan terhadap suatu keyakinan mayoritas mengandalkan tradisi yang mendalam dari keyakinan-keyakinan mayoritas lainnya. Namun demikian, pengertian yang sebaliknya, pengertian terobosan yang, seperti misalnya astronomi Kepler atau Galileo, dikembangkan oleh seorang individu dalam arah yang berlawanan dengan 'keyakinan-keyakinan mayoritasyang tradisional', yang hingga saat itu tidak pernah dibahas dalam literatur komunitarian.

Filsafat komunitarian

Modal sosial

Mulai pada akhir abad ke-20, banyak penulis mulai mengamati kemerosotan dalam jaringan sosial di Amerika Serikat. Dalam bukunya Bowling Alone, Robert Putnam mengamati bahwa hampir setiap bentuk organisasi sipil telah mengalmai penurunan dalam jumlah keanggotaan yang diperlihatkan oleh kenyataan bahwa, meskipun lebih banyak orang yang bermain boling daripada pada tahun 1950-an, jumlah liga boling yang ada makin berkurang. Hasil dari penurunan dalam "modal sosial" ini, yang digambarkan oleh Putnam sebagi "nilai kolektif dari semua 'jaringan sosial' dan kecenderungan-kecenderungan yang muncul dari jaringan-jaringan ini untuk melakukan sesuatu untuk sesama". Menurut Putnam dan para pengikutnya, modal sosial adalah sebuah komponen penting dalam pembangunan dan pemeliharaan demokrasi. Kaum komunitarian berusaha untuk meningkatkan modal sosial dan lembaga-lembaga masyarakat sipil. Responsive Communitarian Platform menggambarkannya demikian:
"Banyak tujuan sosial... membutuhkan kemitraan antara kelompok-kelompok publik dan privat. Meskipun tidak berusaha menggantikan komunitas-komunitas lokal, pemerintah mungkin perlu memberdayakannya melalui strategi-strategi dukungan, termasuk pembagian penghasilan dan bantuan teknis. Ada kebutuhan besar untuk studi dan percobaan dengan penggunaan struktur-struktur masyarakat sipil dan kerja sama publik-swasta, secara kreatif khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial."

Gerakan komunitarian
Gerakan komunitarian modern pertama kali diutarakan oleh Responsive Communitarian Platform, yang ditulis di Amerika Serikat oleh sebuah kelompok etikus, aktivis, dan ilmuwan sosial termasuk Amitai Etzioni, Mary Ann Glendon, dan William Galston. Communitarian Network, yang didirikan pada 1993 oleh Amitai Etzioni, adalah kelompok yang paling terkenal yang menganjurkan komunitarianisme. Sebuah kelompok pemikir yang disebut Institute for Communitarian Policy Studies juga dipimpin oleh Etzioni. Suara-suara lain dalam komunitarianisme termasuk Don Eberly, direktur dari Civil Society Project, dan Robert Putnam, penulis Bowling Alone.

DEMOKRASI SOSIAL DAN LIBERTARIAN


DEMOKRASI SOSIAL DAN LIBERTARIAN

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Sosialisme Libertarian adalah kelompok filosofi politik yang memiliki tujuan menciptakan masyarakat tanpa hirarki politik, ekonomi dan sosial sebuah masyarakat di mana segala kekerasan atau institusi koersif akan dilenyapkan, dan pada tempatnya setiap orang akan mendapatkan akses bebas dan setara terhadap alat-alat informasi dan produksi, atau masyarakat di mana hirarki dan institusi koersif dikurangi sampai sekecil-kecilnya.Kesetaraan dan kebebasan ini dapat dicapai melalui penghapusan institusi otoritarian dan hak milik pribadi, agar kontrol langsung terhadap alat-alat produksi dan sumber daya dapat diraih oleh kelas pekerja dan masyarakat secara keseluruhan.
Sosialisme libertarian juga memiliki kecenderungan pemikiran bahwa otoritas yang tidak memiliki legitimasi untuk diidentifikasi, dikritik kemudian dirombak pada segala aspek kehidupan sosial. Sosialis libertarian kemudian meyakini "praktik kekuasaan dalam segala bentuk terinstitusional --baik ekonomi, politik, religius maupun seksual akan menghancurkan pemegang kekuasaan maupun mereka yang berada di bawah ketika kekuasaan diberlakukan."Jika kebanyakan aliran sosialisme mempercayai peran negara dan partai politik untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial, sosialis libertarian menyandarkan harapan mereka pada serikat pekerja, majelis pekerja, munisipal-munisipal, dewan warga negara, serta aksi-aksi lain yang bersifat nonbirokratis dan terdesentralisasi. Filsafat politik yang secara umum dideskripsikan sebagai sosialis libertarian termasuk: banyak varian dari anarkisme (termasuk komunisme anarkis, kolektivisme anarkis, anarko-sindikalisme, dan beberapa bentuk anarkisme individualis, mutualisme, ekologi sosial, dan komunisme majelis (atau bahkan komunisme itu sendiri, sebagaimana dijelaskan Karl Marx dan Lenin pada tahap selanjutnya dalam perkembangan sosialisme). Istilah komunisme anarkis dan komunisme libertarian tidak boleh dianggap sinonim untuk sosialisme libertarian. Beberapa cendekiawan menggunakan sosialisme libertarian sebagai sinonim dari anarkisme Orang pertama yang mendeskripsikan dirinya sebagai libertarian adalah Joseph Déjacque, seorang komunis anarkis awal Perancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Perancis libertaire, dan digunakan untuk mengelak dari cekal Perancis terhadap publikasi anarkis.
Dalam konteks gerakan sosialis Eropa, libertarian telah digunakan secara umum untuk mengidentifikasi mereka yang menentang sosialisme negara, seperti Mikhail Bakunin. Sosialisme libertarian adalah ideologi dengan interpretasi beragam meskipun keumuman dapat ditemukan dalam banyak inkarnasinya. Proponennya mengadvokasi sistem distribusi berorientasi buruh yang secara radikal terpisah dari ekonomi kapitalis (sosialis). Mereka mengemukakan bahwa sistem ekonomi ini bisa dipraktikkan dengan cara yang berusaha memaksimalkan kebebasan individual dan memperkecil konsentrasi kekuatan atau otoritas (libertarianisme). Sosialis libertarian menunjukkan penolakan yang kuat terhadap aksi dengan kekerasan yang seringkali menyebabkan mereka untuk menolak negara dan memeluk anarkisme. Usaha adheren untuk mencapainya melalui desentralisasi kekuatan politik dan ekonomi, biasanya dengan melibatkan penyosialisasian properti dan perusahaan skala besar. Sosialisme libertarian menolak legitimasi kebanyakan bentuk properti privat yang secara signifikan bernilai ekonomi karena mereka menganggap relasi properti kapitalis sebagai bentuk dominasi yang bertentangan dengan kebebasan individual.

Anti kapitalisme

Sosialis libertarian menyatakan bahwa ketika kekuasaan dipraktikkan, seperti dicontohkan dengan dominasi ekonomi, sosial atau fisik seseorang terhadap yang lainnya, tanggungjawab selalu berada di pihak otoritarian untuk membuktikan bahwa tindakan mereka dapat dilegitimasi ketika apa yang mereka lakukan berakibat mempersempit cakupan kebebasan manusia. Contoh tipikal dari praktik yang sah dalam penggunaan kuasa adalah menggunakan kekuatan fisik untuk menyelamatkan seseorang agar tidak terluka akibat kendaraan yang lewat, atau pertahanan diri. Sosialis libertarian biasanya menentang struktur otoritas yang kaku dan berstrata, apakah itu otoritas politik, ekonomi, maupun sosial. Sosialis libertarian percaya bahwa semua ikatan sosial harus dikembangkan oleh individu-individu yang memiliki besar kekuatan tawar-menawar yang setara, dan bahwa akumulasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir orang dan sentralisasi kekuatan politik sama-sama mengurangi kekuatan tawar-menawar --demikian juga dengan kebebasan individu yang lain di masyarakat. Di pihak lain, prinsip kapitalis (dan libertarian kanan) mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi di tangan mereka yang memiliki modal yang paling banyak. Sosialisme libertarian bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan, demikian juga dengan kebebasan, secara lebih adil di antara anggota masyarakat. Perbedaan kunci antara sosialisme libertarian dan libertarianisme sayap kanan adalah kelompok yang pertama secara umum percaya kemerdekaan adalah secara esensial kebebasan untuk memilih, atau kebebasan untuk menyadari diri sendiri. Hal ini sesekali dikarakterisasikan sebagai keinginan untuk memaksimalkan "kreativitas bebas" di dalam masyarakat dibandingkan "bisnis bebas" (free enterprise). Sosialis libertarian percaya jika kebebasan dihargai maka masyarakat harus mengusahakan terbentuknya sebuah sistem di mana individu-individu memiliki kuasa untuk memutuskan isu-isu ekonomi bersama-sama dengan isu-isu politik. Sosialis libertarian berusaha untuk menggantikan otoritas yang tak direstui dengan demokrasi langsung, federasi sukarela, dan otonomi populer dalam segala aspek kehidupan, termasuk komunitas-komunitas fisik dan usaha-usaha ekonomi. Banyak sosialis libertarian berargumen bahwa asosiasi-asosiasi sukarela berskala besar harus mengatur manufaktur industrial, sementara buruh mendapatkan hak atas produk individual dari hasil kerja mereka. Dengan begitu, mereka melihat adanya perbedaan antara konsep "hak milik privat" dan "kepemilikan pribadi".